Bea Masuk Anti-Dumping Ancam Hancurkan Industri Tekstil Nasional

Usulan Komite Anti Dumping (KADI) untuk mengenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) pada benang filamen sintetis tertentu, seperti Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) impor dari China, menuai kontroversi. Penolakan datang dari berbagai pihak, termasuk 101 pelaku industri dan para pengamat ekonomi.
Kekhawatiran utama adalah dampak negatif usulan tersebut terhadap industri tekstil dalam negeri. Besaran BMAD yang diusulkan, antara 5,12 persen hingga 42,3 persen, dinilai akan membebani industri dan berpotensi memicu krisis.
Defisit Pasokan Benang Filamen POY: Ancaman bagi Industri Tekstil
Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, mengungkapkan bahwa penerapan BMAD akan sangat merugikan industri tekstil Tanah Air. Pasalnya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor benang filamen sintetis, khususnya POY, untuk memenuhi kebutuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Produksi POY dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 141.917 ton per tahun, sementara kebutuhan industri TPT mencapai 257.680 ton per tahun. Hal ini menciptakan defisit sebesar 115.763 ton.
Penerapan BMAD akan semakin memperparah defisit ini dan berdampak signifikan terhadap UMKM dan perusahaan besar dan sedang yang berjumlah lebih dari 1 juta dan 5 ribu.
Potensi PHK Massal Akibat Kenaikan Biaya Produksi
Kenaikan biaya produksi akibat penerapan BMAD berpotensi besar menyebabkan penutupan pabrik dan PHK massal. Industri TPT menyerap sekitar 3 juta tenaga kerja.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan bahan baku utama akan menghambat produksi, mengakibatkan kerugian finansial dan berujung pada pengurangan karyawan.
Kompetisi dengan produk impor juga akan semakin sulit. Kenaikan harga produksi dalam negeri akibat BMAD akan membuat produk lokal kurang kompetitif di pasar.
Seruan Penolakan Usulan KADI
Fernando Emas mendesak pemerintah menolak usulan KADI tersebut. Ia berpendapat penerapan BMAD berisiko besar terhadap industri TPT nasional dan kesejahteraan para pekerjanya.
Penolakan ini diharapkan dapat mencegah dampak negatif yang lebih luas, seperti PHK massal dan penurunan daya saing industri tekstil Indonesia.
Dengan menjaga ketersediaan bahan baku utama dan menekan biaya produksi, industri tekstil diharapkan dapat lebih kompetitif, menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak, dan berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional.
Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dampak kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih komprehensif untuk melindungi industri tekstil dalam negeri tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.