Lee Jae-myung: Akankah Korsel Akhiri Politik Balas Dendam?

Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung, telah memicu kontroversi dengan tindakannya yang tampaknya bertentangan dengan janji kampanyenya untuk mengakhiri siklus balas dendam politik di negara tersebut. Meskipun sebelumnya menyatakan tekadnya untuk mendamaikan perbedaan politik, Lee justru menyetujui penyelidikan baru terhadap mantan presiden, Yoon Suk Yeol, dan istrinya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya sejarah politik Korea Selatan yang penuh dengan pertikaian pasca-pemilu.
Sejarah panjang perselisihan politik di Korea Selatan menunjukkan betapa rawannya negara tersebut terhadap perhitungan politik antar pemimpin. Sejak Roh Moo-hyun pada tahun 2003, enam presiden terakhir Korea Selatan menghadapi penyelidikan hukum, baik saat menjabat maupun setelahnya. Beberapa kasus bahkan berujung pada hukuman penjara dan kematian.
Siklus Balas Dendam yang Tak Berakhir?
Janji Lee Jae-myung untuk mengakhiri siklus balas dendam politik yang sudah berlangsung lama tampaknya hanya retorika kampanye. Seminggu setelah terpilih, ia telah menandatangani rancangan undang-undang yang memicu penyelidikan terhadap pendahulunya, Yoon Suk Yeol, terkait pengumuman keadaan darurat militer. Istri Yoon, Kim Keon-hye, juga menjadi target penyelidikan atas dugaan korupsi.
Keputusan ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Kim Sang-woo, mantan politisi Partai Kongres Politik Baru Korea Selatan, mengungkapkan kekecewaannya. Ia melihat peluang untuk rekonsiliasi politik justru disia-siakan.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju. Meskipun mengakui potensi pelanggaran hukum yang dilakukan Yoon, ia mempertanyakan perlunya penyelidikan terhadap istri mantan presiden.
Kekhawatiran Terhadap Konsentrasi Kekuasaan
Ancaman konsentrasi kekuasaan di tangan Lee Jae-myung menjadi sorotan utama. Riwayat hukum Lee sendiri yang sarat dengan berbagai tuduhan, seperti menyebarkan informasi palsu, melanggar hukum kampanye, dan dugaan korupsi, menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut.
Lee telah menghadapi berbagai dakwaan sejak tahun 2018. Tuduhan tersebut meliputi penerimaan suap, korupsi, penyalahgunaan kepercayaan, dan konflik kepentingan terkait proyek konstruksi besar di Seongnam. Ia bahkan dituduh secara ilegal menyalurkan dana ke Korea Utara.
Meskipun beberapa kasus telah berakhir dengan keputusan pengadilan, beberapa tuduhan lainnya masih dalam proses hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen Lee terhadap transparansi dan akuntabilitas.
Masa Depan Politik Korea Selatan yang Tidak Pasti
Kasus-kasus hukum yang membelit Lee Jae-myung sendiri menunjukkan kompleksitas dan rawannya politik Korea Selatan. Keputusan pengadilan untuk menunda persidangan ulang terhadap Lee atas tuduhan pelanggaran hukum pemilu menunjukkan upaya untuk melindungi presiden yang sedang menjabat.
Namun, pengecualian konstitusional terhadap tuntutan pidana hanya berlaku untuk kasus pemberontakan atau pengkhianatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas sistem hukum dan penegakan hukum di negara tersebut.
Secara keseluruhan, situasi politik di Korea Selatan tetap rawan dan penuh ketidakpastian. Tindakan Lee Jae-myung yang bertolak belakang dengan janji kampanyenya telah menimbulkan keraguan terhadap komitmennya untuk mengakhiri siklus balas dendam politik yang merusak. Masa depan politik Korea Selatan kini dibayangi oleh kekhawatiran akan semakin kuatnya konsentrasi kekuasaan dan lemahnya mekanisme check and balances. Akankah negara ini mampu keluar dari lingkaran setan ini? Hanya waktu yang akan menjawab.