Nama Negara Jadi Merek Dagang? Begini Aturannya

Penggunaan nama negara dalam merek dagang menjadi isu krusial dalam dunia kekayaan intelektual. Banyak pelaku usaha tertarik memanfaatkannya untuk membangun citra merek yang kuat. Namun, hal ini juga memicu pertanyaan seputar perlindungan identitas nasional dan potensi penyalahgunaan. Regulasi yang ketat diperlukan untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kedaulatan negara.
Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG), telah mengatur secara rinci penggunaan nama negara dalam merek dagang. Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI), Razilu, menjelaskan aturan tersebut bertujuan melindungi kepentingan negara dan mencegah kebingungan di masyarakat.
Regulasi Ketat Penggunaan Nama Negara dalam Merek Dagang di Indonesia
Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) mengatur secara spesifik penggunaan nama negara dalam merek. Pasal 21 ayat (2) huruf (b) UU MIG menyatakan permohonan merek dapat ditolak jika mengandung tiruan atau menyerupai nama, singkatan nama, bendera, lambang, simbol, atau emblem suatu negara, kecuali mendapat izin tertulis dari pihak berwenang.
Persetujuan dari otoritas yang berwenang menjadi kunci. Penggunaan nama negara tidak semata-mata soal estetika pemasaran, tetapi juga aspek hukum yang kompleks. Dirjen KI menekankan pentingnya izin resmi untuk menghindari pelanggaran hukum dan mencegah potensi kesalahpahaman di masyarakat.
Merek yang menggunakan nama negara juga tak boleh menyesatkan konsumen. Hal ini berarti merek tidak boleh memberikan kesan palsu tentang asal geografis produk. Contohnya, merek “Swiss Watch” yang didaftarkan perusahaan Indonesia berpotensi ditolak karena dapat menimbulkan kesan produk berasal dari Swiss, padahal belum tentu.
Ada pengecualian. Merek seperti American Standard atau American Tourister tetap dapat didaftarkan karena “American” di sini berfungsi sebagai kata sifat deskriptif, bukan representasi langsung nama negara. Konteks penggunaan nama negara menjadi pertimbangan utama.
Namun, penggunaan nama negara dalam merek seperti “Indonesian Airlines” akan diperiksa lebih ketat. Jika merek tersebut menimbulkan kesan sebagai maskapai nasional tanpa izin resmi, permohonan pendaftarannya berpotensi ditolak.
Kasus Penolakan dan Mekanisme Penegakan Hukum
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) telah menangani berbagai kasus penolakan merek yang mengandung nama negara. Salah satu contohnya adalah penolakan permohonan merek bernomor D002015040642 yang menggunakan simbol dan nama “Swiss” tanpa izin.
UU MIG menyediakan mekanisme pencegahan dan penindakan. Setiap pihak dapat mengajukan keberatan/oposisi terhadap permohonan merek yang menggunakan nama negara selama masa pengumuman (publikasi). Pemeriksa merek juga berwenang menolak permohonan yang melanggar ketentuan UU MIG.
Untuk penegakan hukum, UU MIG memberi ruang bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan atau penghapusan merek yang melanggar ketentuan. Pemegang merek yang terbukti melakukan penyalahgunaan dapat menghadapi konsekuensi hukum, termasuk tuntutan di Pengadilan Niaga.
Regulasi Internasional dan Praktik di Negara Lain
Aturan penggunaan nama negara dalam merek dagang bukan hanya diterapkan di Indonesia. Konvensi Paris, khususnya Pasal 6ter, mewajibkan negara anggota menolak pendaftaran merek yang menggunakan nama negara tanpa persetujuan.
Negara-negara ASEAN juga memiliki aturan serupa. Thailand melarang pendaftaran merek yang menggunakan nama negara tanpa izin resmi. Malaysia dapat menolak permohonan merek yang hanya terdiri dari nama negara. Singapura melarang penggunaan bendera negara dalam merek tanpa izin. Hal ini menunjukkan konsistensi global dalam melindungi identitas nasional melalui regulasi kekayaan intelektual.
Kesimpulannya, penggunaan nama negara dalam merek dagang di Indonesia diatur secara ketat untuk melindungi identitas nasional dan mencegah penyalahgunaan. Regulasi ini selaras dengan praktik internasional dan bertujuan menciptakan pasar yang adil dan transparan. Penting bagi pelaku usaha untuk memahami aturan ini agar terhindar dari masalah hukum.