Tragedi 1965 & 1998: Sejarah Terlupakan, Generasi Muda Harus Tahu

Pelanggaran HAM Berat di Indonesia: Kekhawatiran Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Rencana penulisan ulang sejarah nasional di bawah koordinasi Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menimbulkan kekhawatiran akan minimnya pengakuan atas pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sejumlah sejarawan senior menyuarakan keprihatinan mereka terkait hal ini, melihat indikasi bahwa peristiwa-peristiwa kelam tersebut akan diabaikan atau dikurangi porsinya dalam narasi sejarah yang baru.
Ketidakjelasan mengenai ruang lingkup penulisan ulang sejarah ini menjadi fokus utama dari kekhawatiran tersebut. Minimnya detail mengenai bagaimana pelanggaran HAM akan diintegrasikan dalam buku sejarah baru menimbulkan pesimisme.
Pernyataan Menteri dan Kekecewaan Sejarawan
Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyebut proyek ini bukan buku sejarah HAM, melainkan sejarah umum, menjadi pemicu utama kekhawatiran. Asvi Warman Adam, sejarawan senior, mengungkapkan kekecewaannya atas pernyataan tersebut.
Menurutnya, seharusnya semua peristiwa penting, termasuk pelanggaran HAM berat, dimasukkan dalam sejarah nasional, meskipun porsinya bisa disesuaikan. Penyangkalan atas peristiwa perkosaan massal tahun 1998, yang juga disampaikan oleh Menbud, dinilai sebagai hal yang sangat mengecewakan dan melukai korban.
Ancaman bagi Generasi Muda: Sejarah Tunggal dan Hilangnya Kemampuan Berpikir Kritis
Penulisan sejarah yang tidak komprehensif dan objektif dikhawatirkan akan memberikan informasi yang keliru kepada generasi muda. Generasi muda berhak mengetahui seluruh fakta sejarah Indonesia, termasuk peristiwa-peristiwa kelam seperti pelanggaran HAM berat tahun 1965 dan 1968.
Informasi yang tidak lengkap justru dapat menghambat kemampuan berpikir kritis mereka. Sejarawan Asep Kambali menambahkan bahwa penyajian sejarah versi tunggal akan menumpulkan kepekaan terhadap keberagaman narasi masa lalu. Hal ini akan menjadikan generasi muda rentan terhadap manipulasi informasi.
Sejarah sebagai Cermin, Bukan Dogma: Pentingnya Pendekatan Akademik yang Jujur dan Terbuka
Asep Kambali menekankan bahwa sejarah bukan sekadar untuk dipuja-puji, melainkan untuk dipahami, dipelajari, dan dijadikan pelajaran berharga bagi masa depan. Pendekatan akademik yang jujur dan terbuka sangatlah penting.
Jika sejarah hanya disajikan sebagai dogma atau kebenaran tunggal, maka ia justru menjadi berbahaya. Sejarah seharusnya menjadi benteng kesadaran, bukan tembok yang membatasi ingatan dan pemahaman kita akan masa lalu. Menutup-nutupi sejarah kelam justru akan membuat bangsa kehilangan arah dan mudah dimanipulasi oleh kekuatan luar.
Kesimpulan: Merawat Ingatan Sejarah untuk Masa Depan Bangsa
Penulisan ulang sejarah nasional yang tidak memasukkan pelanggaran HAM berat merupakan ancaman serius bagi upaya pembangunan bangsa Indonesia. Kejujuran dan keterbukaan dalam menyajikan sejarah adalah kunci agar generasi muda tumbuh dengan kemampuan berpikir kritis, serta pemahaman yang komprehensif tentang masa lalu bangsa. Mengabaikan peristiwa-peristiwa kelam hanya akan menciptakan generasi yang tercerabut dari akar sejarahnya dan rentan terhadap manipulasi. Merawat ingatan sejarah bangsa adalah kewajiban bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik.