Israel Menang Lawan Iran? Ancaman Nuklir Jadi Sorotan

Aktivis pro-Israel, Monique Rijkers, memberikan pandangannya mengenai konflik terbaru antara Israel dan Iran. Ia menilai operasi militer Israel yang berlangsung selama 12 hari tersebut sukses mencapai tujuannya, menguasai sebagian besar wilayah Iran dengan efisiensi tinggi. Pernyataan ini disampaikan Rijkers dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Indonesia Lawyers Club pada 26 Juni 2025. Pandangannya ini memicu perdebatan dan perlu dikaji lebih mendalam.
Efisiensi Militer Israel dalam Konflik dengan Iran
Rijkers menekankan keberhasilan serangan Israel yang terfokus pada sasaran militer strategis Iran. Serangan ini, menurutnya, berbeda dengan serangan balasan Iran yang dianggapnya tidak terarah dan melukai warga sipil.
Ia menyebut Israel berhasil menguasai 25 dari 31 provinsi di Iran dalam waktu 12 hari. Kemampuan angkatan udara Israel untuk melakukan penerbangan bolak-balik antara Teheran dan Yerusalem tanpa mendapat serangan juga menjadi sorotan Rijkers.
Serangan-serangan tersebut, menurut Rijkers, menargetkan fasilitas militer dan nuklir milik Garda Revolusi Iran, termasuk kantor intelijen dan peluncur rudal. Ini menunjukkan perencanaan dan eksekusi yang terukur dari pihak Israel.
Ancaman Program Nuklir Iran dan Posisi Internasional
Kekhawatiran Rijkers berpusat pada program nuklir Iran. Ia mengutip laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Juni 2025 yang menyatakan Iran telah memiliki 408 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen.
Jumlah tersebut, menurut Rijkers, cukup untuk membuat sekitar 9 hingga 10 bom atom. Ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas regional dan keamanan internasional.
Rijkers mengkritik negara-negara yang mendukung program nuklir Iran. Ia menekankan bahwa senjata nuklir mengancam stabilitas kawasan, termasuk negara-negara tetangga Iran seperti Gaza, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Yordania.
Indonesia, sebagai negara penandatangan traktat perjanjian anti-senjata nuklir, harus konsisten dengan pendiriannya. Dukungan terhadap Iran yang berupaya mengembangkan senjata nuklir akan bertentangan dengan komitmen tersebut.
Perdamaian dengan Iran: Perubahan Ideologi, Bukan Pergantian Rezim
Rijkers menegaskan bahwa serangan Israel bukan upaya untuk menggulingkan rezim Iran. Perubahan rezim, menurutnya, adalah urusan internal rakyat Iran.
Namun, ia mengusulkan perubahan ideologi di Iran agar lebih damai dan tidak lagi anti-Israel. Propaganda anti-Israel yang disebar Iran sejak Revolusi Islam 1979, menurut Rijkers, telah memicu kebencian global terhadap Israel.
Rijkers menyayangkan beberapa negara, termasuk Indonesia, yang terpengaruh oleh narasi anti-Israel tersebut. Ia juga mengkritisi gencatan senjata yang terjadi tanpa komitmen nyata dari Iran.
Ia mencontohkan perjanjian serupa dengan kelompok Houthi di Yaman yang gagal mengurangi agresi di Laut Merah. Hal ini menunjukkan pentingnya komitmen konkret dari semua pihak untuk mencapai perdamaian berkelanjutan.
Rijkers mengakhiri pernyataannya dengan menekankan kesediaan Israel untuk berdamai dengan siapa pun, termasuk Iran, selama tidak ada ancaman eksistensial. Ia mengingatkan hubungan Israel-Iran sebelum 1979 relatif damai, bahkan Iran termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel. Perdamaian yang sejati membutuhkan perubahan ideologi, bukan hanya pergantian rezim. Pernyataan Rijkers ini memberikan perspektif penting dalam memahami kompleksitas konflik Israel-Iran, dan membutuhkan analisa lebih lanjut dari berbagai pihak untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.