Berita

Penjual Pecel Lele Trotoar Terancam Tipikor: Ancaman Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima

Mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009, Chandra Hamzah, menyoroti masalah dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Ia berpendapat bahwa ketentuan tersebut yang mengatur kerugian negara, terlalu luas dan berpotensi menjerat warga biasa tanpa niat jahat.

Chandra memberikan analogi yang cukup mengejutkan: seorang penjual pecel lele di trotoar. Menurutnya, penjual tersebut dapat dijerat dengan pasal tersebut karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (berjualan di trotoar), memperkaya diri sendiri (mendapatkan keuntungan dari penjualan), dan merugikan keuangan negara (kerusakan fasilitas publik).

Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor mengatur pidana bagi perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pihak tertentu dan mengakibatkan kerugian negara. Chandra menekankan pentingnya rumusan delik yang jelas dan tidak ambigu, agar tidak melanggar asas lex certa (rumusan yang pasti) dan lex stricta (tidak boleh ditafsirkan secara analogi).

Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 18 Juni 2024, Chandra menjelaskan lebih lanjut. Ia berpendapat bahwa penggunaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 3 UU Tipikor mengaburkan esensi korupsi. Tidak semua orang memiliki kekuasaan yang rentan korupsi.

Chandra mengusulkan revisi terhadap pasal-pasal tersebut. Ia merekomendasikan penghapusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor karena rumusannya dinilai melanggar asas lex certa. Ia juga menyarankan revisi Pasal 3 UU Tipikor, mengganti frasa “setiap orang” dengan “Pegawai Negeri” dan “Penyelenggara Negara”, selaras dengan Article 19 UNCAC.

Chandra menambahkan, frasa “‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara'” juga perlu dihilangkan, sesuai rekomendasi UNCAC. Dengan demikian, fokus UU Tipikor akan lebih terarah pada tindakan korupsi yang sesungguhnya, bukan pada perbuatan yang merugikan keuangan negara secara tidak sengaja.

Analisis Ahli Keuangan Mengenai Fokus Penegakan Hukum

Selain Chandra Hamzah, Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007, juga dihadirkan sebagai ahli. Amien memaparkan hasil survei yang menunjukkan bahwa suap merupakan jenis korupsi yang paling umum terjadi. Ironisnya, penegak hukum di Indonesia cenderung fokus pada kasus korupsi yang merugikan keuangan negara.

Amien menegaskan ketidaksesuaian antara fokus penegakan hukum dan jenis korupsi yang paling banyak terjadi. “Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi, karena korupsi yang paling banyak adalah suap, korupsi yang ditulis di Undang-undang yang berlaku di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah suap, tapi yang dikejar-kejar yang merugikan keuangan negara,” ujar Amien.

Pernyataan Amien ini menunjukkan adanya celah dalam strategi pemberantasan korupsi di Indonesia. Fokus yang berlebihan pada kerugian keuangan negara mengabaikan jenis korupsi lain yang mungkin lebih merusak sistem pemerintahan dan kepercayaan publik, seperti suap.

Implikasi dan Rekomendasi

Pernyataan Chandra Hamzah dan Amien Sunaryadi menimbulkan kekhawatiran mengenai efektivitas UU Tipikor dalam memberantas korupsi. Rumusan pasal yang terlalu luas dan ambigu berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan mengalihkan fokus dari bentuk korupsi yang lebih berbahaya.

Rekomendasi revisi yang diajukan oleh para ahli perlu dipertimbangkan secara serius oleh pembuat kebijakan. Perlu ada keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Rumusan pasal yang jelas dan spesifik akan memastikan bahwa UU Tipikor digunakan secara adil dan efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Perlu juga dilakukan evaluasi mendalam terhadap strategi pemberantasan korupsi di Indonesia. Fokus penegakan hukum harus disesuaikan dengan jenis korupsi yang paling umum terjadi, dengan tetap memperhatikan kerugian keuangan negara. Suatu pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi diperlukan untuk menciptakan sistem yang bersih dan akuntabel.

Kesimpulannya, permasalahan yang diangkat oleh para ahli dalam persidangan MK ini menunjukan betapa pentingnya revisi UU Tipikor agar lebih efektif, adil, dan sesuai dengan perkembangan konteks sosial dan hukum di Indonesia. Fokus pada definisi korupsi yang jelas dan sasaran penegakan hukum yang tepat sangat krusial untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi secara menyeluruh.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button