Petani sederhana bernama Salim Kancil, asal Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, namanya mungkin tak pernah terdengar di kancah nasional sebelum tragedi yang menimpa dirinya. Kehidupan sehari-harinya jauh dari hiruk pikuk politik atau aktivisme. Ia adalah seorang petani yang mendedikasikan hidupnya untuk bertani. Namun, keberaniannya dalam melawan tambang pasir ilegal telah mengukir namanya dalam sejarah perjuangan rakyat kecil Indonesia. Kisah Salim Kancil menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi lingkungan.
Kehidupan Salim sebelum tragedi yang menimpanya tergolong sederhana. Ia adalah seorang petani yang berjuang menghidupi keluarganya dari hasil pertaniannya. Tak ada pendidikan tinggi, jabatan penting, atau afiliasi dengan organisasi lingkungan. Namun, Salim memiliki kepedulian yang mendalam terhadap desanya.
Perlawanan Seorang Petani Sederhana
Salim menyaksikan sendiri bagaimana tambang pasir ilegal secara perlahan merusak lingkungan tempat tinggalnya. Air menjadi keruh, sawah rusak akibat tanah longsor, dan garis pantai terkikis. Ia bukan hanya diam menyaksikan kerusakan tersebut.
Berbeda dengan sebagian besar warga yang memilih bungkam karena takut, Salim berani bersuara. Ia mendokumentasikan kerusakan lingkungan, membuat laporan, aktif dalam rapat desa, dan mendorong warga lain untuk turut melawan.
Salim meyakini bahwa keberanian satu orang dapat menginspirasi orang lain. Tujuannya sederhana: melindungi tanah kelahirannya agar tetap subur untuk generasi mendatang. Ia tak pernah ingin menjadi pahlawan, hanya ingin keadilan.
Teror dan Tekanan yang Semakin Intens
Tambang pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar telah beroperasi dalam waktu lama. Keuntungannya dinikmati oleh segelintir orang, sementara kerusakan lingkungan ditanggung seluruh warga. Ketidakadilan ini mendorong Salim dan warga lainnya membentuk forum penolakan tambang.
Mereka mengumpulkan data, mengirim surat kepada pemerintah, dan mengadukan masalah ini ke media. Perlahan, suara mereka didengar. Media nasional mulai meliput, menarik perhatian publik ke Lumajang.
Namun, keberanian mereka memancing reaksi keras dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh tambang. Salim dan warga lain mengalami teror. Rumah-rumah dilempari batu, ancaman melalui telepon, dan kemunculan orang asing di sekitar rumah mereka.
Meski teror semakin intensif, Salim tak gentar. Ia tetap aktif dalam rapat desa dan terus membuat laporan. Baginya, diam adalah bentuk kekalahan.
Kematian Salim Kancil dan Dampaknya
Tekanan mencapai puncaknya menjelang 26 September 2015. Laporan warga ke polisi terkait dugaan keterlibatan beberapa pihak dalam aktivitas tambang ilegal tak membuahkan hasil. Salim dan keluarganya hidup dalam bayang-bayang ancaman. Beberapa warga yang ikut melawan mengalami intimidasi, kehilangan pekerjaan, atau dijauhi masyarakat.
Pada pagi 26 September 2015, Salim bersiap untuk aksi damai ke kantor Bupati Lumajang. Namun, ia tak pernah sampai ke tujuan. Sejumlah orang menyeretnya keluar rumah, membawanya ke Balai Desa Selok Awar-Awar, dan menganiayanya secara brutal.
Salim dianiaya secara kejam, disetrum, dan dipukuli hingga tewas. Yang lebih mengerikan, penganiayaan ini terjadi di depan umum, seakan hukum tak berlaku. Beberapa pelaku ditangkap dan diadili, namun sebagian lainnya lolos dari jerat hukum.
Kematian Salim Kancil mengguncang Indonesia. Tagar #SalimKancil menjadi viral, memicu aksi solidaritas di berbagai kota. Pemerintah pusat turun tangan, menghentikan sementara tambang ilegal, dan beberapa pelaku dihukum. Namun, hukuman tersebut dinilai tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan.
Kisah Salim Kancil terus dikenang sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan. Namanya diabadikan dalam mural, buku, dan film dokumenter. Kisahnya menginspirasi banyak orang dan menjadi pengingat bahwa keberanian dapat muncul dari siapa saja, bahkan petani sederhana. Perjuangan menegakkan keadilan memang tak selalu berakhir indah, namun selalu berdampak. Setiap suara berani, sekecil apapun, bisa menyalakan harapan. Warisan Salim Kancil adalah keberanian untuk bersuara, meski penuh risiko.

