Rahasia Daerah Maju: Otonomi & Pengentasan Kemiskinan Efektif
Kemiskinan di Indonesia bukanlah sekadar angka statistik, melainkan luka sosial yang berakar dari masa lalu hingga kini. Otonomi daerah, yang diamanatkan sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 dan disempurnakan dalam UU No. 23 Tahun 2014, diharapkan menjadi solusi konkret dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pasal 34 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara untuk menjamin kehidupan layak bagi warga miskin. Negara tak boleh abai terhadap kelompok rentan, karena keadilan sosial merupakan pilar penting bagi bangsa Indonesia.
Otonomi Daerah: Lebih dari Sekadar Desentralisasi
Otonomi daerah bukan hanya soal pembagian administratif, melainkan transformasi filosofis dalam tata kelola negara. Tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat kini juga berada di pundak pemerintah daerah.
Para ahli seperti Richard Musgrave (1959) dan Amartya Sen (1999) menekankan pentingnya pendekatan yang lebih dekat dengan rakyat. Desentralisasi fiskal dan peningkatan kapabilitas warga menjadi kunci dalam mengatasi kemiskinan.
Sukses Surabaya dalam Mengatasi Kemiskinan Ekstrem
Kota Surabaya menjadi contoh nyata bagaimana otonomi daerah dapat diimplementasikan secara efektif. Kota ini berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem melalui pendekatan reintegrasi sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Dari 5,23 persen pada Maret 2021, angka kemiskinan di Surabaya turun menjadi 4,65 persen pada Maret 2023. Kemiskinan ekstrem pun berhasil ditekan dari 1,2 persen menjadi 0,8 persen.
Program padat karya yang memberikan penghidupan hingga Rp 10 juta per orang menjadi salah satu kunci keberhasilan. Inovasi teknologi seperti aplikasi e-Peken dan sistem TKPKD juga memperkuat transparansi dan efektivitas bantuan.
Kota Surabaya juga menggeser pendekatan terhadap pengemis, gelandangan, dan anak jalanan dari yang represif menjadi intervensi berbasis data dan pemberdayaan. Data DTKS dimutakhirkan dan intervensi dilakukan melalui pelatihan UMKM dan program padat karya.
Liponsos kini dilengkapi layanan psikologis dan pelatihan kerja. Program rusunawa juga membantu mengembalikan mereka ke sistem sosial.
Anak jalanan mendapat perhatian khusus melalui UPTD Kampung Anak Negeri yang direvitalisasi dengan pendekatan berbasis keluarga dan pendidikan.
Perda Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2024 tentang Penanggulangan Kemiskinan memperkuat sinergi antar dinas dan menekankan pendekatan komunitas.
Dari Rehabilitasi ke Pembangunan Kapabilitas: Belajar dari Surabaya
Surabaya menunjukkan evolusi kebijakan sosial yang dinamis. Penanganan pengemis, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai masalah ketertiban, melainkan representasi kemiskinan struktural.
Pemetaan sosial membedakan pengemis fungsional dengan yang tereksploitasi. Setiap individu, bagaimanapun kondisinya, berhak hidup bermartabat.
Pendekatan ini selaras dengan teori *social investment*, di mana pembangunan manusia marjinal merupakan investasi jangka panjang bagi bangsa. Program-program ini juga sejalan dengan prinsip pembangunan berbasis hak asasi manusia dari UNICEF dan UNDP.
Meski demikian, tantangan masih ada. Fragmentasi data, ketergantungan pada APBD, dan partisipasi masyarakat sipil yang masih kurang perlu ditingkatkan.
Inovasi digital seperti e-RTRW dan Sapa Warga perlu dimaksimalkan untuk mendorong partisipasi masyarakat. Rakyat bukan sekadar objek, tetapi subjek aktif dalam pembangunan.
Kisah Surabaya menunjukkan bahwa otonomi daerah bukan sekadar pembagian kekuasaan, melainkan penegasan tanggung jawab yang lebih lokal dan manusiawi. Pengentasan kemiskinan bukanlah utopia, tetapi keniscayaan.
Ketika kita bicara Pancasila dan Negara Kesejahteraan, kita bicara tentang masa depan di mana anak-anak tak lagi hidup di jalanan, gelandangan menemukan rumah dan martabat, serta pengemis menjadi wirausahawan. Dari kota-kota seperti Surabaya, Indonesia yang adil dan beradab mulai dibangun.



