Bahaya Pemisahan Pemilu dan Ujian Kenegarawanan: Ancaman Demokrasi?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan lokal disambut relatif tenang di ruang sidang. Namun, gelombang ketidaksetujuan justru muncul kemudian, meluas ke berbagai kalangan.
Ketidakpuasan ini bukan sekadar reaksi, melainkan refleksi mendalam atas implikasi putusan tersebut terhadap sistem demokrasi Indonesia. Berbagai pihak, dari anggota parlemen hingga pejabat eksekutif, mengungkapkan kekhawatirannya. Bahkan, wacana revisi Undang-Undang MK pun berembus.
Gelombang Ketidaksetujuan atas Putusan MK
Kegundahan yang muncul pasca-putusan MK menunjukkan bahwa nurani demokrasi masih bekerja. Perlawanan halus dari publik, tanpa terpengaruh kalkulasi politik semata, patut diapresiasi. Meskipun demikian, ketidaksetujuan ini juga menjadi pisau bermata dua.
Kritik tajam dilontarkan terhadap MK, menuding lembaga tersebut telah melanggar konstitusi dan melampaui kewenangannya. Tuduhan MK memaksakan model keserentakan pemilu yang seharusnya menjadi ranah legislatif juga mengemuka.
Analisis Mendalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024
Kritik terhadap putusan MK memang sah dalam demokrasi terbuka. Namun, menarik untuk melihat konteks lahirnya putusan tersebut. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 merupakan respons atas kegagalan DPR dan Pemerintah menindaklanjuti Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Putusan sebelumnya telah menawarkan enam model keserentakan pemilu yang konstitusional, namun diabaikan. MK, dalam hal ini, tidak menggantikan peran legislatif, tetapi menjaga agar konstitusi tetap relevan dan berjalan.
Perlunya Memahami Konteks dan Filosofi Putusan MK
Putusan MK harus dipahami dengan pendekatan hermeneutika hukum, memandang konstitusi sebagai “living constitution”, bukan struktur statis. Interpretasi harus mempertimbangkan konteks zaman, realitas sosial, dan kehendak kolektif bangsa.
Pemilu serentak sebelumnya telah menimbulkan kelelahan kolektif, termasuk korban jiwa petugas KPPS. Pemisahan pemilu nasional dan lokal juga bertujuan untuk mengurangi beban logistik dan teknis, serta memberi ruang bagi penguatan kaderisasi partai politik. Proses rekrutmen kader yang selama ini kerap pragmatis dan transaksional diharapkan bisa diperbaiki.
Putusan MK mendorong perbaikan budaya politik, memberikan ruang nafas lebih panjang bagi kaderisasi politik, dan meningkatkan kualitas calon. Kegundahan yang muncul menjadi ujian kedewasaan bagi elite politik dan publik. Kritik memang penting, tetapi harus didasari pemahaman yang komprehensif.
Ketidaksetujuan terhadap putusan MK harus direspons dengan kontemplasi, bukan penolakan impulsif. Perlu dialektika yang sehat, dan tanggung jawab membaca zaman dalam menilai putusan tersebut. Kritik yang konstruktif, berdasarkan pemahaman filosofis dan konstitusional, jauh lebih bermakna daripada penolakan tanpa dasar yang kuat.
Proses ini menawarkan kesempatan untuk memperkuat demokrasi substantif, bukan hanya aspek teknis pemilihan. Semoga kegundahan ini berbuah perbaikan sistem kepemiluan yang lebih baik dan berkelanjutan di masa mendatang.