Berita

Tan Malaka: Pemikir Revolusi, Ditembak, Namun Gagasannya Abadi

Tan Malaka, pahlawan nasional Indonesia, adalah figur yang kompleks dan penuh paradoks. Kisah hidupnya merupakan refleksi perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, penuh liku dan perjuangan yang tak kenal lelah. Ia bukan sekadar pejuang, melainkan juga seorang pemikir revolusioner yang karyanya hingga kini masih relevan.

Lahir sebagai Sultan Ibrahim pada tahun 1897 di Pandan Gadang, Sumatera Barat, Tan Malaka tumbuh di lingkungan keluarga bangsawan Minang. Namun, ia menolak hidup mewah dan memilih jalan yang berbeda, dipenuhi idealisme dan semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.

Pendidikan dan Pengaruh Ideologi

Pendidikannya di Bukittinggi dan kemudian beasiswa ke Belanda di Rick Quick School, sekolah guru untuk pribumi terpilih, memberikan Tan Malaka akses pada pengetahuan luas.

Di Belanda, ia tidak hanya menyerap ilmu kependidikan, tetapi juga terpapar ideologi sosialis dan Marxisme. Karya Karl Marx dan Lenin sangat memengaruhi pemikirannya, membentuk pandangan kritisnya terhadap penjajahan dan ketidakadilan sosial.

Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran akan nasib bangsa Indonesia yang terjajah. Ia mulai mempertanyakan sistem penjajahan dan mencari jalan untuk memimpin perlawanan sejati terhadapnya.

Perjuangan Revolusioner dan Pengasingan

Kepulangannya ke Indonesia menandai awal perjalanan revolusioner Tan Malaka. Ia bergabung dengan Sarekat Islam, tetapi perbedaan pandangan dengan kepemimpinan yang dianggapnya terlalu moderat membuatnya keluar.

Tan Malaka meyakini bahwa penjajahan hanya dapat diatasi melalui revolusi total, bukan kompromi. Keyakinan ini membawanya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perannya di PKI sebagai salah satu penggerak utama membuatnya menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1922, ia ditangkap dan diasingkan ke luar negeri.

Pengasingan tidak mematahkan semangatnya. Sebaliknya, ia justru menggunakan waktu ini untuk memperluas perjuangannya. Lebih dari dua dekade ia hidup sebagai buronan internasional, berpindah-pindah dari Filipina, Cina, Jepang, Thailand hingga Uni Soviet, menggunakan puluhan nama samaran untuk menghindari penangkapan.

Madilog dan Kritik terhadap Sistem

Masa pengasingan tidak menghentikan Tan Malaka untuk berkarya. Salah satu warisan pemikirannya yang abadi adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).

Madilog, sebuah karya filsafat kritis, memperkenalkan cara berpikir ilmiah dan progresif kepada rakyat Indonesia. Buku ini menjadi bukti kecerdasan dan daya kritis Tan Malaka.

Meskipun terlibat dalam gerakan komunis, ia juga mengkritik PKI yang dianggapnya terlalu elitis dan tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Ia selalu bersikap kritis, tidak pernah sepenuhnya nyaman berada dalam satu kelompok manapun.

Kembali ke Tanah Air dan Akhir Tragis

Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942, saat Jepang menduduki Indonesia. Ia membangun jaringan bawah tanah, mengajar, dan mempersiapkan revolusi rakyat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia menentang kompromi dengan Belanda. Ia membentuk Persatuan Perjuangan dengan semboyan “100% Merdeka,” sebuah sikap yang dianggap ekstrem oleh pemerintah.

Penangkapan dan tuduhan pemberontakan menimpa Tan Malaka, meskipun tujuannya adalah kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat Indonesia. Ironisnya, ia ditangkap oleh pemerintah yang seharusnya ia perjuangkan.

Tahun 1949, di Blitar, Tan Malaka ditembak mati oleh Batalyon Sikatan, Divisi Siliwangi. Kematiannya di tangan bangsanya sendiri merupakan tragedi yang menyayat hati.

Meskipun sempat disembunyikan, akhirnya pada tahun 1963, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Kisahnya menjadi pengingat betapa kompleksnya perjuangan kemerdekaan dan pentingnya mengenang para pahlawan yang telah berjuang untuk Indonesia.

Perjuangan dan pemikiran Tan Malaka tetap relevan hingga kini. Keberaniannya untuk menyuarakan kebenaran dan idealismenya yang tinggi patut diteladani. Ia merupakan contoh seorang revolusioner yang mengabdikan hidupnya untuk cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button