Berita

PKB Tolak Putusan MK: Pemilu Serentak Terancam?

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan kontroversial terkait penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah. Putusan tersebut menetapkan pemisahan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.

Keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin. Ia menilai putusan MK tersebut kontradiktif dengan putusan sebelumnya dan membatasi opsi keserentakan pemilu yang telah diberikan.

Putusan MK: Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem. Permohonan tersebut mempersoalkan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Keputusan ini menetapkan pemungutan suara Pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan.

Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Sementara Pemilu daerah mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.

Jeda waktu antara Pemilu nasional dan daerah ditetapkan minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Hal ini dihitung sejak pelantikan anggota DPR dan DPD, atau sejak pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.

Kontroversi dan Reaksi DPR

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin, menyatakan keprihatinannya atas putusan MK ini. Ia menilai putusan tersebut bertolak belakang dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 sebelumnya memberikan enam opsi keserentakan pemilu. Khozin menganggap putusan terbaru MK justru membatasi pilihan tersebut.

Khozin menekankan bahwa MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya. Putusan sebelumnya, menurutnya, menyerahkan pilihan model keserentakan kepada pembentuk undang-undang (UU).

Ia berpendapat bahwa bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 bukan alasan bagi MK untuk mengintervensi kewenangan DPR.

Khozin juga mengingatkan pertimbangan hukum angka 3.17 pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam pertimbangan tersebut, MK secara tegas menyatakan tidak memiliki kewenangan menentukan model keserentakan pemilu.

Dampak Putusan dan Langkah Selanjutnya

Khozin menyayangkan putusan MK yang dianggapnya bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Ia melihat dampak putusan ini dapat meluas secara konstitusional.

Ia menambahkan, putusan MK dinilai hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Khozin berharap MK memiliki pandangan yang lebih dalam dan mempertimbangkan proyeksi dari setiap putusannya.

DPR akan menjadikan putusan terbaru MK ini sebagai bahan penting dalam pembahasan perubahan UU Pemilu. Pembahasan perubahan UU Pemilu ini akan segera digelar di parlemen.

Putusan MK sebelumnya telah meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU Pemilu. Putusan terbaru ini tentu akan menjadi pertimbangan penting dalam proses tersebut.

Dengan demikian, putusan MK ini akan memicu dinamika politik dan hukum ke depan. Perdebatan mengenai keserentakan Pemilu dan kewenangan lembaga negara akan terus berlanjut.

Proses revisi UU Pemilu yang akan dilakukan DPR akan menjadi ajang untuk membahas secara komprehensif implikasi dari putusan MK ini. Harapannya, revisi tersebut dapat menghasilkan aturan yang lebih baik dan mengakomodasi berbagai kepentingan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button