Sahroni NasDem: Putusan Pemilu Aneh, Cederai Hukum? Reaksi Keras!

Partai NasDem secara tegas menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan jadwal Pemilihan Umum (Pemilu). Mereka menilai putusan tersebut sebagai bentuk “pencurian kedaulatan rakyat” dan berpotensi menimbulkan masalah serius bagi sistem demokrasi Indonesia. Penolakan ini disampaikan melalui berbagai pernyataan resmi dari petinggi partai, termasuk Bendahara Umum dan Anggota Majelis Tinggi.
Putusan MK yang memisahkan Pemilu Presiden dan Legislatif dari Pemilu Kepala Daerah dinilai NasDem sebagai langkah yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan matang. Konsekuensi dari putusan ini diyakini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengacaukan sistem pemerintahan yang sudah berjalan.
Putusan MK Dinilai Aneh dan Cacat Konstitusional
Bendahara Umum Partai NasDem, Ahmad Sahroni, menyatakan keheranannya terhadap putusan MK. Ia menekankan bahwa perubahan aturan pemilu yang sering dilakukan MK tanpa pertimbangan yang matang justru merusak asas kepastian hukum. Keputusan ini, menurutnya, tidak hanya aneh tetapi juga berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan.
Sahroni memberikan contoh konkret mengenai masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang berakhir di tengah periode pemerintahan baru. Apakah masa jabatan mereka akan diperpanjang, dan jika iya, apakah ini tidak merusak esensi demokrasi yang telah dipilih rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sorotan penting dalam penolakan NasDem.
Putusan MK juga dianggap cacat konstitusional karena membingungkan publik dan membebani sistem pemilu yang sudah kompleks. Perubahan aturan yang terus menerus terjadi menimbulkan ketidakpastian, bukan hanya bagi partai politik, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Potensi Krisis Konstitusional dan Deadlock
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat, menambahkan bahwa putusan MK berpotensi menimbulkan krisis konstitusional, bahkan deadlock konstitusional. MK, menurutnya, tidak memiliki kewenangan untuk mengubah norma dalam UUD 1945.
Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu tertentu bertentangan dengan Pasal 22B UUD 1945, yang mengatur tentang Pemilu serentak setiap lima tahun sekali. Hal ini, menurut Lestari, dapat menyebabkan pelanggaran konstitusional karena masa jabatan DPRD bisa berakhir sebelum pemilu berikutnya digelar.
Lestari menekankan bahwa putusan MK tersebut merupakan pelanggaran konstitusional karena tidak sejalan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang secara jelas mengatur pemilu serentak setiap lima tahun. Konsekuensi dari putusan ini berpotensi menciptakan kekacauan dan ketidakpastian dalam sistem pemerintahan.
NasDem Tegaskan Penolakan dan Desak Peninjauan Kembali
Partai NasDem secara tegas menolak putusan MK dan mendesak adanya peninjauan kembali terhadap keputusan tersebut. Mereka memandang putusan ini sebagai tindakan yang merugikan rakyat dan merusak sistem demokrasi Indonesia.
Pernyataan penolakan disampaikan secara resmi oleh beberapa petinggi partai melalui konferensi pers dan pernyataan tertulis. NasDem menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan kedaulatan rakyat dan sistem demokrasi yang berjalan sesuai konstitusi.
Putusan MK ini telah memicu kontroversi dan perdebatan luas di kalangan publik dan para ahli hukum tata negara. NasDem, dengan penolakannya yang tegas, berharap dapat mendorong dilakukannya kajian lebih lanjut dan perbaikan atas putusan MK yang dinilai bermasalah ini. Kejelasan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu sangat penting untuk menjaga stabilitas dan kelancaran proses demokrasi di Indonesia. Ke depan, diharapkan adanya dialog dan diskusi yang lebih intensif antara MK, partai politik, dan lembaga terkait untuk menemukan solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negara.