Rahasia Matcha: Jepang Khawatir Popularitas Globalnya Ancam Tradisi
Pukul 10.00 pagi di Uji, Jepang, adalah waktu yang krusial. Ini saat toko-toko matcha, teh hijau bubuk terkenal dunia, mulai beroperasi. Kota Uji, yang dapat dijangkau dengan kereta dari Kyoto dalam waktu setengah jam, terkenal akan matcha-nya yang kerap diseduh dengan air panas.
Antusiasme global terhadap matcha telah mencapai titik yang mengkhawatirkan bagi penduduk lokal. Laporan menunjukkan peningkatan drastis produksi matcha, dari 4.176 ton di tahun 2023 menjadi tiga kali lipat dibanding produksi tahun 2010. Kenaikan ini sejalan dengan lonjakan jumlah wisatawan di Jepang, yang mencapai rekor hampir 37 juta pada tahun 2024.
Perburuan Matcha di Nakamura Tokichi Honten
Kedatangan saya di Nakamura Tokichi Honten, pemasok matcha untuk kaisar Jepang, di pagi hari itu sungguh menegangkan. Sebelum toko buka, saya telah mendapati 35 orang mengantre di depan saya. Suasana ramai sudah terasa bahkan sebelum jam 10.00.
Keinginan mendapatkan bubuk matcha berkualitas memaksa saya untuk berjuang bersama kerumunan. Para turis berebut kaleng-kaleng matcha dari tangan pekerja toko yang kewalahan. Saya berhasil mengambil satu kaleng, meskipun tanpa mengetahui jenis dan harganya. Dalam hitungan menit, semua matcha telah ludes terjual. Seorang turis Jerman bahkan dengan bangga mengaku menghabiskan 250 euro (sekitar Rp 4,7 juta) untuk membeli lebih dari 30 kaleng matcha.
Kelangkaan Matcha Berkualitas Tinggi
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Nakamura Tokichi. Toko matcha terkenal lainnya, Tsujirihei Honten, yang berdiri sejak 1860, juga mengalami hal serupa. Meskipun membatasi jumlah pembelian, sebagian besar matcha mereka telah habis terjual.
Kelangkaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Produksi matcha berkualitas tinggi, terutama untuk matcha seremonial, sangat terbatas. Daun teh untuk matcha seremonial harus ditanam di tempat teduh untuk menghasilkan rasa yang kaya dan umami. Namun, metode ini membatasi fotosintesis dan hasil panen. Proses penggilingan tradisional dengan batu juga lambat, hanya menghasilkan sekitar 400 gram matcha per delapan jam.
Dampak Popularitas Matcha dan Harapan ke Depan
Popularitas matcha di media sosial dan klaim manfaat kesehatannya telah meningkatkan permintaan secara global. Namun, Tomimi Hisaki, manajer umum Tsujirihei, khawatir kelangkaan ini berdampak pada tradisi lokal.
Persediaan matcha untuk satu bulan bisa habis hanya dalam sehari. Hal ini mengancam ketersediaan matcha berkualitas tinggi untuk upacara minum teh tradisional dan tempat-tempat suci. Simona Suzuki, presiden Asosiasi Teh Jepang Global, berharap wisatawan asing mempertimbangkan tujuan penggunaan matcha sebelum membelinya dalam jumlah besar. Ia prihatin karena matcha berkualitas tinggi digunakan untuk minuman seperti latte dan smoothie, bukan untuk tujuan tradisionalnya.
Pengalaman saya di Uji mengajarkan saya betapa berharganya matcha berkualitas tinggi dan betapa terbatasnya produksinya. Meskipun saya menikmati matcha latte instan di kemudian hari, pengalaman tersebut mengingatkan pentingnya keseimbangan antara popularitas dan kelestarian tradisi. Harapannya, wisatawan dapat menikmati matcha dengan bijak dan menghargai proses produksi yang kompleks dan terbatas. Selain matcha, Uji juga menawarkan beragam jenis teh lain seperti sencha, gyokuro, dan hojicha, yang patut untuk dieksplorasi. Memahami kekhasan dan proses pembuatan masing-masing jenis teh dapat meningkatkan apresiasi terhadap kekayaan budaya teh Jepang.



