Paus Baru Non-Katolik? Indonesia Siap Hadapi Konklaf?

Konklaf, proses pemilihan Paus baru, akan segera dilangsungkan pada 7 Mei mendatang. Peristiwa sakral ini akan menentukan pemimpin Gereja Katolik Roma selanjutnya, menggantikan Paus Fransiskus yang meninggal dunia pada 21 April lalu.
Proses pemilihan ini selalu menarik perhatian dunia, terlebih lagi tahun ini terdapat spekulasi menarik mengenai kemungkinan terpilihnya Paus dari negara non-Katolik. Film fiksi “Conclave” yang memenangkan Oscar tahun lalu, bahkan menggambarkan skenario serupa.
Konklaf: Dinamika Pemilihan Paus
Sebanyak 133 kardinal elektor, dari total 252 kardinal di seluruh dunia, akan berpartisipasi dalam konklaf. Angka ini berkurang dua orang karena alasan kesehatan.
Para kardinal berasal dari 71 negara, menunjukkan keragaman geografis yang signifikan. Eropa masih mendominasi dengan 53 kardinal elektor, namun Asia menyusul dengan 23 kardinal elektor. Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Oseania, dan Amerika Tengah masing-masing memiliki jumlah perwakilan yang cukup.
Associate Professor Joel Hodge dari Australian Catholic University menilai konklaf kali ini berbeda karena komposisi perwakilan yang lebih beragam, hasil upaya Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI selama 70 tahun terakhir. Kehadiran kardinal dari negara seperti Timor Leste, yang baru pertama kali memiliki kardinal, menandai babak sejarah baru.
Kemungkinan Paus dari Negara Non-Katolik
Kemungkinan terpilihnya Paus dari negara dengan mayoritas non-Katolik selalu ada, menurut Profesor Hodge. Faktor penentu utamanya adalah kepribadian, teologi, spiritualitas, dan gaya kepemimpinan calon Paus.
Meskipun kardinal dari negara dengan mayoritas Katolik umumnya lebih sering muncul sebagai kandidat terkuat, Paus Fransiskus sendiri telah menunjuk kardinal dari negara dengan populasi Katolik kecil, seperti Mongolia. Aspek geopolitik juga akan menjadi pertimbangan penting bagi para kardinal.
Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina, misalnya, merupakan sosok berpengaruh dari negara dengan mayoritas Katolik di Asia Tenggara, namun tidak termasuk kandidat unggulan.
Profil Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Indonesia
Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, merupakan salah satu kardinal elektor. Namanya kurang menonjol menjelang konklaf karena beliau tidak memiliki ambisi untuk menjadi Paus.
Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta, Vincentius Adi Prasojo, menegaskan bahwa Kardinal Suharyo hanya fokus pada pelayanan gereja, tanpa ambisi kekuasaan. Sikap tegas beliau dalam menolak rencana pemerintah Indonesia untuk memberikan izin tambang kepada organisasi keagamaan, serta komitmennya membangun tim awam profesional, mencerminkan integritasnya.
Meskipun demikian, Kardinal Suharyo menyatakan kesiapannya untuk menerima takdir jika terpilih sebagai Paus, sebagai bentuk ketaatan. Beliau menekankan bahwa menjadi Paus bukan soal ambisi, melainkan pelayanan.
Berbeda dengan Kardinal Suharyo, Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar, yang juga berasal dari negara non-Katolik, lebih dikenal dan dianggap sebagai kandidat potensial, meskipun peluangnya dinilai kecil. Pengalamannya memimpin Gereja di tengah situasi politik Myanmar yang sulit menjadi poin plus.
Konklaf kali ini diperkirakan akan berlangsung lebih lama dari biasanya, karena belum ada kandidat yang dominan. Dua konklaf terakhir hanya berlangsung dua hari, sementara konklaf terlama mencapai hampir tiga tahun.
Tantangan besar menanti Paus terpilih, termasuk reformasi gereja, terutama di bidang keuangan, perlindungan anak, dan penanganan krisis pelecehan seksual.
Siapapun yang terpilih, akan menghadapi tugas berat memimpin Gereja Katolik di tengah berbagai kompleksitas global. Proses konklaf yang penuh rahasia ini akan menyimpan kejutan hingga hasilnya diumumkan.