Iran Putus Kerja Sama Nuklir: Balas Dendam Serangan AS?
Presiden Iran Masoud Pezeshkian, merespon serangan Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir negaranya, telah menyetujui undang-undang yang menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Keputusan ini diambil pada Rabu, 2 Juli 2025, selang sepekan setelah parlemen Iran mengesahkan undang-undang serupa. Iran menuduh IAEA bersekongkol dengan Israel dan memfasilitasi serangan terhadap fasilitas nuklirnya, tuduhan yang dibantah oleh IAEA.
Langkah ini menimbulkan kekhawatiran internasional terkait potensi percepatan program nuklir Iran tanpa pengawasan IAEA. Iran, sebagai penanda tangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, memiliki kewajiban untuk mengizinkan inspeksi dan pemantauan fasilitas nuklirnya untuk memastikan penggunaan yang damai. Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan waktu implementasi undang-undang tersebut meningkatkan ketidakpastian situasi geopolitik yang sudah tegang.
Serangan AS dan Dampaknya terhadap Fasilitas Nuklir Iran
Serangan AS pada Minggu, 22 Juni 2025, menargetkan tiga situs nuklir Iran: Natanz, Fordo, dan Isfahan. Tujuh pesawat pembom B-2 dikerahkan, menjatuhkan 14 rudal penembus bunker GBU-57 Massive Ordnance Penetrators (MOP), masing-masing seberat sekitar 13 ton.
Presiden AS Donald Trump mengklaim serangan tersebut menghancurkan fasilitas dan kemampuan nuklir Iran, khususnya di fasilitas bawah tanah Fordo. Iran mengakui kerusakan signifikan pada fasilitasnya, namun bertekad untuk melanjutkan pengayaan uranium.
IAEA, dalam pernyataan resminya, menyatakan bahwa serangan tersebut tidak mengakibatkan kerusakan total. Mereka menilai Iran mampu memulai kembali pengayaan uranium dalam beberapa bulan. Peristiwa ini terjadi di tengah konflik Iran-Israel yang dimulai pada 13 Juni 2025.
Tanggapan IAEA dan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir
IAEA menyatakan sedang menunggu informasi resmi lebih lanjut dari Iran terkait penghentian kerja sama ini. Keputusan Iran untuk menghentikan kerja sama dengan IAEA menimbulkan kekhawatiran serius mengenai pengawasan internasional terhadap program nuklirnya.
Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) mewajibkan negara-negara peserta untuk mengizinkan inspeksi dan pemantauan fasilitas nuklirnya. Langkah Iran ini merupakan pelanggaran potensial terhadap komitmen internasional tersebut.
Ketidakhadiran pengawasan internasional secara efektif akan memungkinkan Iran mengembangkan program nuklirnya tanpa transparansi, menimbulkan risiko signifikan bagi keamanan regional dan global.
Posisi Iran dan Konsekuensi Geopolitik
Iran berulang kali menyangkal pengembangan senjata nuklir, menekankan bahwa hal tersebut dilarang dalam ajaran Islam. Namun, negara tersebut meningkatkan pengayaan uranium setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir pada 2018.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei, telah secara konsisten menolak tuduhan pengembangan senjata nuklir. Namun, peningkatan pengayaan uranium dan keputusan untuk menghentikan kerja sama dengan IAEA menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan niat sebenarnya program nuklir Iran.
Ketegangan geopolitik di kawasan tersebut semakin meningkat setelah serangan AS dan keputusan Iran. Ketidakpastian mengenai masa depan program nuklir Iran dan hubungannya dengan IAEA menimbulkan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan internasional. Dunia internasional mendesak Iran untuk kembali ke meja perundingan dan menghormati kewajibannya sesuai dengan perjanjian internasional. Ketiadaan pengawasan dari IAEA berpotensi meningkatkan eskalasi konflik di Timur Tengah.




