Site icon Tempo Siang

Subsidi Listrik Membengkak, Transisi Energi Butuh Aksi Agresif

Subsidi Listrik Membengkak, Transisi Energi Butuh Aksi Agresif

Sumber: Suara.com

Pemerintah Indonesia memprediksi pembengkakan anggaran subsidi listrik pada tahun 2025. Anggaran yang awalnya ditargetkan sebesar Rp 87,72 triliun, kini diperkirakan melonjak hingga Rp 90,32 triliun. Kenaikan ini memicu desakan untuk melakukan reformasi struktural di sektor energi guna mengatasi masalah ini secara berkelanjutan. Kondisi ini menjadi sorotan mengingat besarnya dampak terhadap keuangan negara.

Pembengkakan anggaran subsidi listrik ini tak hanya menjadi masalah fiskal semata, tetapi juga menunjukkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil impor yang rawan terhadap fluktuasi harga global. Hal ini berdampak signifikan pada stabilitas ekonomi nasional.

Subsidi Listrik Membengkak: Ancaman terhadap Fiskal Negara

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai pembengkakan anggaran subsidi listrik menjadi sinyal kuat perlunya reformasi struktural sektor energi Indonesia. Ketergantungan pada energi fosil impor, menurutnya, menjadi akar masalah yang membebani fiskal negara.

Volatilitas harga bahan baku fosil impor berpengaruh besar terhadap keberlanjutan energi listrik di Indonesia. Ketidakpastian harga ini menciptakan ketidakstabilan dalam perencanaan anggaran pemerintah.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjuk tiga faktor utama penyebab pembengkakan anggaran: kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP), fluktuasi nilai tukar rupiah, dan inflasi. Ketiga faktor ini saling berkaitan dan berdampak signifikan terhadap biaya produksi listrik.

Solusi Jangka Pendek: Reformasi Penyaluran Subsidi dan Pemanfaatan DTKS

Sebagai solusi jangka pendek, Huda menyarankan pemerintah melakukan reformasi penyaluran subsidi listrik dengan memanfaatkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Langkah ini penting untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan mengurangi beban negara.

Dengan memangkas subsidi bagi kelompok masyarakat mampu, pemerintah dapat mengalihkan dana tersebut untuk program elektrifikasi di desa-desa dan memberikan insentif bagi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini akan lebih efektif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Transisi Energi: Keharusan untuk Ketahanan Fiskal dan Lingkungan

Keterlambatan transisi energi juga menjadi sorotan tajam. Huda menekankan bahwa percepatan pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hijau bukan hanya agenda lingkungan, melainkan juga strategi fiskal yang mendesak.

Percepatan transisi energi akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor. Hal ini akan meningkatkan ketahanan fiskal dan mengurangi risiko pembengkakan anggaran subsidi listrik di masa mendatang.

Jika bauran energi terbarukan (EBT) dapat mencapai 30 persen dalam lima hingga enam tahun ke depan, ketahanan rupiah dan anggaran subsidi akan jauh lebih terjaga. Sinergi antara subsidi tepat sasaran dan transisi energi yang agresif menjadi kunci keberhasilan.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, menambahkan bahwa realisasi subsidi listrik hingga Mei 2025 telah mencapai Rp 35 triliun. Angka ini menunjukkan besarnya anggaran yang telah dikeluarkan dan perlunya langkah-langkah strategis untuk mengendalikannya.

Subsidi listrik pada tahun 2020 mencapai Rp 48 triliun, meningkat menjadi Rp 50 triliun pada tahun 2021. Tren peningkatan ini menunjukkan perlunya solusi struktural yang komprehensif.

Kesimpulannya, pembengkakan anggaran subsidi listrik di tahun 2025 menuntut reformasi struktural di sektor energi. Reformasi penyaluran subsidi, pemanfaatan DTKS, dan percepatan transisi energi menjadi langkah krusial untuk mengurangi beban fiskal dan menciptakan sistem energi yang lebih berkelanjutan dan tahan terhadap guncangan ekonomi global. Keberhasilan strategi ini akan menentukan stabilitas ekonomi dan ketahanan energi Indonesia di masa depan.

Exit mobile version