PKB Kecam Putusan MK: Pemilu Serentak Terancam?
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan penting terkait penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah. Putusan tersebut menetapkan pemisahan waktu penyelenggaraan kedua jenis pemilu tersebut dengan jeda minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Keputusan ini telah menuai berbagai reaksi, khususnya dari kalangan legislatif. Salah satu anggota DPR RI menyoroti adanya kontradiksi dengan putusan MK sebelumnya.
Putusan MK: Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Dalam putusannya, MK menetapkan bahwa pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden) dan pemilu daerah (DPRD provinsi/kabupaten/kota, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota) harus dipisahkan.
Jeda waktu penyelenggaraan kedua jenis pemilu ini diputuskan minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Hal ini berdasarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025.
Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mengikat.
Kontradiksi dengan Putusan MK Sebelumnya
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin, menyatakan bahwa putusan MK ini bertolak belakang dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Putusan sebelumnya memberikan enam opsi keserentakan pemilu, sementara putusan terbaru justru membatasi pilihan tersebut.
Khozin menilai MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberikan kewenangan pilihan model keserentakan kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR.
Ia menekankan bahwa kewenangan menentukan model keserentakan pemilu berada di ranah pembentuk UU, bukan MK.
Pertimbangan Hukum yang Dipertanyakan
Khozin mengingatkan bahwa dalam pertimbangan hukum angka 3.17 pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK secara tegas menyatakan tidak memiliki kewenangan menentukan model keserentakan pemilu.
Putusan terbaru ini dianggapnya sebagai sebuah paradoks, karena MK kini justru menentukan model keserentakan tersebut.
Ia menyayangkan kurangnya pertimbangan yang menyeluruh dari MK dalam mengambil keputusan ini.
Dampak dan Langkah ke Depan
Khozin memperingatkan bahwa dampak dari putusan MK ini bisa sangat luas dan kompleks secara konstitusional.
Ia menilai MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja, sehingga dibutuhkan pandangan yang lebih komprehensif.
DPR akan menjadikan putusan terbaru ini sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan perubahan UU Pemilu.
Putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan perubahan UU Pemilu, dan putusan terbaru ini akan menjadi bagian penting dalam proses tersebut.
Proses perubahan UU Pemilu ini diharapkan dapat mengakomodir berbagai pertimbangan dan menghasilkan sistem pemilu yang lebih baik dan demokratis.
Secara keseluruhan, putusan MK ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dan jangkauan kewenangan lembaga peradilan tersebut. Diskusi dan perdebatan di kalangan legislatif dan pakar hukum diperlukan untuk mencari solusi terbaik bagi sistem pemilu di Indonesia.


