Berita

Iran vs Israel: Sejarah Persahabatan & Perseteruan Abadi

Konflik Iran-Israel: Dari Kerja Sama hingga Permusuhan yang Membara

Ketegangan antara Iran dan Israel telah menjadi salah satu konflik paling kompleks dan berkepanjangan di Timur Tengah. Perseteruan ini telah memicu berbagai serangan militer dan aksi balasan selama beberapa dekade, menciptakan siklus kekerasan yang mengancam stabilitas regional. Baru-baru ini, konflik tersebut meningkat menjadi perang terbuka pada pertengahan Juni 2025.

Insiden terbaru yang semakin memperkeruh hubungan kedua negara adalah serangan udara besar-besaran Israel, Operasi Singa Bangkit, pada 13 Juni 2025. Serangan ini menargetkan lebih dari 200 lokasi strategis di Iran, termasuk fasilitas nuklir utama.

Operasi Singa Bangkit dan Eskalasi Konflik

Operasi Singa Bangkit yang dilancarkan Israel mengakibatkan korban jiwa di kalangan pejabat militer dan ilmuwan Iran, serta kerusakan signifikan pada infrastruktur pertahanan negara tersebut. Serangan ini memicu reaksi keras dari Iran, yang kemudian membalas dengan serangan terhadap Yerusalem dan Tel Aviv, menyebabkan puluhan warga sipil terluka.

Eskalasi ini menandai babak baru dalam konflik Iran-Israel, meningkatkan kekhawatiran akan meluasnya perang di kawasan Timur Tengah yang rawan konflik. Dampak ekonomi global pun terasa, dengan lonjakan harga minyak dunia sebagai konsekuensinya.

Era Kerja Sama Iran-Israel di Bawah Rezim Shah

Ironisnya, sejarah mencatat bahwa Iran dan Israel pernah memiliki hubungan yang erat dan saling menguntungkan, terutama selama pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi (awal 1950-an hingga revolusi 1979). Iran, pada masa itu, menjadi salah satu negara Muslim pertama yang secara de facto mengakui keberadaan Israel.

Kerja sama kedua negara meliputi berbagai sektor, termasuk ekspor minyak Iran ke Israel dan proyek pengembangan militer bersama, seperti pembuatan rudal. Kekhawatiran bersama terhadap ancaman dari Uni Soviet dan Irak semakin memperkuat ikatan kedua negara sebagai sekutu penting di kawasan.

Kerjasama Ekonomi dan Militer

Ekspor minyak Iran menjadi sumber pendapatan penting bagi Israel, sementara Iran mendapatkan teknologi dan dukungan militer dari Israel. Proyek pembuatan rudal bersama mencerminkan tingkat kepercayaan dan kerja sama yang tinggi antara kedua negara pada masa itu.

Kerja sama tersebut menunjukkan bahwa hubungan bilateral yang kuat bisa terjalin meskipun terdapat perbedaan ideologi dan latar belakang keagamaan. Namun, hal ini berubah drastis setelah Revolusi Islam 1979.

Perubahan Drastis Pasca Revolusi Islam 1979

Revolusi Islam 1979 menandai titik balik dalam hubungan Iran dan Israel. Penggulingan rezim Shah dan berkuasanya Republik Islam di bawah Ayatollah Khomeini menyebabkan perubahan drastis dalam kebijakan luar negeri Iran.

Pemerintah baru langsung memutus hubungan diplomatik dengan Israel dan mencapnya sebagai “rezim Zionis yang ilegal.” Iran kemudian mengadopsi kebijakan anti-Israel yang kuat, memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok perlawanan Palestina dan Lebanon, seperti Hamas dan Hizbullah, termasuk penyediaan senjata, pelatihan militer, dan pendanaan.

Dukungan terhadap Kelompok Perlawanan

Dukungan Iran kepada kelompok-kelompok perlawanan Palestina dan Lebanon memperburuk ketegangan dengan Israel. Hal ini memicu serangkaian konflik dan aksi balasan yang semakin memperkeruh hubungan kedua negara.

Program nuklir Iran juga menjadi sumber utama ketegangan dengan Israel, yang melihatnya sebagai ancaman eksistensial bagi keamanan negaranya.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Konflik Iran-Israel yang berkepanjangan merupakan masalah kompleks yang melibatkan berbagai aktor dan kepentingan. Tidak hanya melibatkan kedua negara tersebut, tetapi juga negara-negara besar dan kelompok-kelompok militan, sehingga penyelesaian damai menjadi semakin sulit dicapai.

Meskipun pernah menjalin kemitraan strategis, perubahan rezim dan ideologi politik pada tahun 1979 telah menghancurkan hubungan tersebut dan melahirkan permusuhan yang terus membara hingga saat ini. Masa depan hubungan kedua negara masih belum pasti, dan potensi eskalasi konflik tetap menjadi ancaman serius bagi perdamaian dan stabilitas regional. Upaya diplomasi dan de-eskalasi sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik yang lebih besar dan merugikan semua pihak.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button