Selat Hormuz Terancam: Serangan AS Picu Krisis Energi Global
Serangan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu, 22 Juni 2025, telah memicu kekhawatiran global akan potensi penutupan Selat Hormuz. Kejadian ini berpotensi mengganggu jalur perdagangan vital dunia, terutama pasokan minyak mentah, dan berdampak signifikan terhadap perekonomian global. Ancaman penutupan Selat Hormuz bukan hanya spekulasi, melainkan potensi krisis yang perlu diantisipasi.
Data Badan Informasi Energi tahun 2024 menunjukkan sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari, atau 20 persen dari konsumsi global, melewati Selat Hormuz. Hal ini menjadikan Selat Hormuz sebagai salah satu jalur pelayaran minyak terpenting di dunia.
Ancaman Penutupan Selat Hormuz dan Dampaknya terhadap Pasokan Minyak Dunia
Serangan AS terhadap Iran langsung berdampak pada harga minyak dunia yang melonjak 2 persen. Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran pasar akan gangguan pasokan minyak akibat potensi penutupan Selat Hormuz.
Sebagai jalur utama pengangkutan minyak mentah dari Teluk Persia ke Samudra Hindia, penutupan Selat Hormuz akan mengakibatkan disrupsi besar-besaran terhadap rantai pasokan energi global. Minimnya alternatif jalur pelayaran akan memperparah kondisi dan berdampak pada berbagai sektor ekonomi dunia.
Estimasi menunjukkan bahwa sekitar 17 juta barel minyak, atau 20 hingga 30 persen dari konsumsi global, diangkut melalui Selat Hormuz setiap hari. Penutupan jalur ini akan menciptakan defisit pasokan yang signifikan dan berpotensi memicu krisis energi skala besar.
Dampak Ekonomi Global dan Nasional Akibat Lonjakan Harga Minyak
Lonjakan harga minyak akibat ancaman penutupan Selat Hormuz akan berdampak luas terhadap perekonomian global. Negara-negara pengimpor minyak akan merasakan beban yang signifikan, terutama bagi negara-negara berkembang yang ketergantungannya terhadap impor minyak cukup tinggi.
Di Indonesia, Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa setiap kenaikan harga minyak sebesar US$1 per barel akan meningkatkan biaya subsidi energi sebesar Rp6,9 triliun. Ini akan memberikan tekanan besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan berpotensi mengganggu program-program pembangunan lainnya.
Inflasi global pun berpotensi meningkat tajam sebagai dampak dari kenaikan harga minyak. Hal ini akan menyulitkan upaya pengendalian inflasi dan berdampak terhadap daya beli masyarakat di berbagai negara.
Strategi Geopolitik dan Antisipasi Krisis Energi
Selat Hormuz memiliki posisi geostrategis yang sangat penting, baik bagi Amerika Serikat maupun negara-negara di kawasan tersebut. Amerika Serikat, sebagai kekuatan ekonomi global yang sangat bergantung pada aliran minyak yang lancar, memiliki kepentingan besar untuk menjaga keamanan jalur pelayaran ini.
Iran, di sisi lain, memiliki potensi untuk memanfaatkan posisi geografis Selat Hormuz sebagai alat negosiasi politik. Ancaman penutupan Selat Hormuz bisa menjadi strategi untuk menekan tekanan politik dan ekonomi dari negara-negara lain.
Untuk mengantisipasi krisis energi yang mungkin terjadi, diperlukan strategi mitigasi risiko yang komprehensif. Kerjasama internasional dalam menjaga keamanan pelayaran di Selat Hormuz, diversifikasi sumber energi, dan efisiensi penggunaan energi merupakan beberapa langkah penting yang perlu diprioritaskan.
Penutupan Selat Hormuz akan memicu krisis energi global yang berdampak sangat besar. Situasi ini membutuhkan respons cepat dan terkoordinasi dari berbagai pihak untuk meminimalkan dampak negatifnya dan membangun ketahanan energi global yang lebih kuat. Penting bagi semua negara untuk berkolaborasi dalam mencari solusi damai dan mencari alternatif jalur distribusi energi untuk mengurangi ketergantungan pada Selat Hormuz.


