Pandangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait konflik Israel-Iran kembali menjadi sorotan. Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID), Nazar El Mahfudzi, menilai pandangan mantan Presiden keenam RI ini penting untuk dipahami masyarakat. Hal ini terutama dalam memahami kompleksitas konflik geopolitik global yang seringkali disajikan secara sederhana. Nazar menekankan pentingnya melihat konflik ini secara lebih jernih dan nuansa.
SBY, menurut Nazar, mengajak masyarakat untuk tidak melihat konflik Israel-Iran secara hitam putih. Pernyataan SBY yang disampaikan dalam wawancara media menekankan pentingnya melihat konteks sejarah kedua negara. Namun, sejarah bukanlah pembenaran bagi kekerasan yang berulang.
Memahami Konflik Israel-Iran dari Perspektif SBY
Nazar menjelaskan, SBY menyatakan bahwa Iran bukan semata-mata agresor, dan Israel bukan hanya korban. Kedua negara memiliki sejarah panjang yang kompleks, meliputi aspek politik, agama, dan keamanan nasional. Hal ini membentuk respons dan narasi yang mereka bangun saat ini. SBY menekankan bahwa sejarah tidak boleh dijadikan justifikasi untuk kekerasan yang berulang.
SBY juga mengajak masyarakat Indonesia dan dunia untuk tidak mudah terpengaruh oleh framing tunggal dari media internasional. Literasi media sangat penting. Kita perlu mempertanyakan apakah media global menampilkan semua sisi cerita. Apakah suara warga sipil Iran dan Israel juga didengar, atau hanya para pemimpin dan jenderal saja?
Diplomasi Multilateral sebagai Solusi Jangka Panjang
SBY, menurut Nazar, memahami medan konflik, tetapi juga kekuatan diplomasi. Ia menolak pendekatan unilateral. Solusi jangka panjang hanya bisa tercipta dari dialog multilateral yang adil. Bukan dari embargo, sanksi sepihak, atau serangan balik tanpa henti.
Selama masa jabatannya, SBY beberapa kali mendorong Indonesia untuk aktif dalam forum PBB dan OKI. Tujuannya adalah menjadi penengah dalam konflik-konflik antara dunia Islam dan Barat. Sampai sekarang, pesannya tetap konsisten: jangan diam ketika kemanusiaan dilukai, tapi jangan membalas luka dengan peluru.
Menggugat Narasi dan Membangun Nalar Kritis
SBY juga mengingatkan bahwa yang paling menderita dalam konflik adalah rakyat biasa. Anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersenjata menjadi korban perang yang tidak mereka pilih.
Konflik modern, menurut SBY, tidak hanya terjadi di medan perang fisik, tetapi juga di ruang media. Narasi, disinformasi, dan polarisasi menjadi bagian dari strategi perang. Oleh karena itu, kita sebagai pembaca dan penikmat informasi harus memiliki nalar kritis untuk memilah informasi yang kita terima.
SBY tidak hanya mengomentari konflik, tetapi juga mengingatkan Indonesia. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan tradisi diplomasi non-blok, Indonesia tidak boleh tinggal diam. Pandangan SBY mengajak publik untuk berpikir lebih jernih, membaca lebih dalam, dan menolak menjadi bagian dari kebisingan propaganda global. Indonesia perlu berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Peran Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dan sejarah diplomasi non-blok sangat krusial dalam konteks ini.
Kesimpulannya, pandangan SBY menawarkan perspektif yang berimbang dan bijak dalam menyikapi konflik Israel-Iran. Ia menekankan pentingnya memahami konteks sejarah, meningkatkan literasi media, dan mengutamakan diplomasi multilateral untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Pesan ini relevan tidak hanya untuk konflik ini, tetapi juga untuk berbagai konflik global lainnya. Indonesia, dengan posisinya yang strategis, perlu terus berperan aktif dalam membangun perdamaian dunia.