Site icon Tempo Siang

Polisi Usut Mafia Tanah, Lansia Buta Huruf Jadi Korban Tersangka

Polisi Usut Mafia Tanah, Lansia Buta Huruf Jadi Korban Tersangka

Sumber: CNNIndonesia.com

Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menetapkan SP, putri seorang lansia buta huruf bernama Sumirah, sebagai tersangka dalam kasus dugaan mafia tanah di Maguwoharjo, Sleman. SP diduga melakukan tindak pidana sumpah palsu dan pemalsuan dokumen, berdasarkan laporan yang diajukan pada 14 Desember 2022. Kasus ini menyoroti kerentanan lansia dan permasalahan serius terkait mafia tanah di Indonesia.

Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol Ihsan, menjelaskan bahwa penetapan tersangka SP didasarkan pada proses penyelidikan dan penyidikan. SP dijerat dengan Pasal 242 ayat 1 KUHP atau Pasal 266 ayat 1 KUHP. SPDP telah dikirim ke kejaksaan pada 26 Januari 2023. Proses hukum sempat terhenti karena Kejati DIY mengembalikan berkas perkara pada 30 Agustus 2023, meminta penundaan hingga tuntas gugatan perdata yang sedang berlangsung di PN Sleman.

Gugatan perdata tersebut berlanjut hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Setelah itu, berkas perkara SP dikirim kembali ke Kejati DIY pada 10 Maret 2025, namun kembali dikembalikan dengan permintaan untuk melengkapi syarat formil dan materiil. Penyidik saat ini tengah berupaya untuk memenuhi petunjuk tersebut dan segera mengirimkan berkas kembali ke Kejati DIY.

Latar Belakang Kasus Mafia Tanah

Kasus ini bermula dari hilangnya aset Sumirah berupa lahan sawah seluas 800 meter persegi. Ia dan suaminya, Almarhum Budiharjo, diduga menjadi korban praktik mafia tanah. SP, dalam upaya memulihkan sertifikat sawah milik orangtuanya, justru ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut keterangan SP dalam video LBH Dharma Yudha, ia dipolisikan dan ditetapkan sebagai tersangka setelah mengurus sertifikat pengganti lahan milik ayahnya di kantor pertanahan pada tahun 2016. Keluarga mempercayakan proses konversi Letter C menjadi SHM kepada seseorang berinisial YK, yang menjanjikan tukar guling lahan.

Namun, proses konversi tak kunjung jelas. Tanpa sepengetahuan keluarga, sertifikat lahan telah berpindah kepemilikan. SP kemudian dipolisikan oleh SAE, pemilik baru sertifikat lahan tersebut, yang mengklaim telah membeli lahan tersebut seharga Rp2,3 miliar.

Pernyataan Keluarga Korban

Keluarga korban membantah pernah menerima uang Rp2,3 miliar. Pendamping hukum dari LBH Dharma Yudha, Chrisna Harimurti, mempertanyakan bukti pembayaran seperti kuitansi yang diklaim hilang oleh YK saat diperiksa polisi. “Pertanyaan besar keluarga itu, kapan diberikan ke Pak Budiharjo, di rekening mana, kuitansi mana, buktinya mana gitu lho,” ungkap Chrisna.

Almarhum Budiharjo, menurut Chrisna, tidak berniat menjual tanahnya. Ia terbujuk rayu YK untuk melakukan tukar guling lahan, yang ternyata hanyalah akal-akalan. YK diduga memanfaatkan ketidakmampuan Budiharjo dan Sumirah membaca dan menulis. Mereka menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanpa memahami isi dokumen.

Chrisna menyebut pola kasus ini mirip dengan kasus Mbah Tupon, yang juga merupakan korban mafia tanah. “Ini persis kasus Mbah Tupon, pola-polanya mafia tanah begitu itu,” kata Chrisna. LBH Dharma Yudha telah mengajukan gugatan perdata terhadap SAE dan YK, dan saat ini sedang dalam proses kasasi di MA.

Permasalahan Hukum dan Keadilan

Chrisna telah mengirim surat ke Polda DIY untuk meminta pemeriksaan ulang dan mengecek kembali bukti pembayaran Rp2,3 miliar. Pihaknya juga meminta agar kasus SP tidak dilanjutkan, karena dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini menjadi sorotan karena menunjukkan kerentanan lansia dan praktik mafia tanah yang merajalela, serta penegakan hukum yang dinilai kurang adil.

Pentingnya perlindungan hukum bagi kelompok rentan seperti lansia dan upaya yang lebih efektif dalam memberantas mafia tanah menjadi fokus utama yang perlu diperhatikan. Transparansi dalam proses pertanahan dan akses keadilan yang mudah dijangkau bagi semua kalangan menjadi hal krusial untuk mencegah terulangnya kasus serupa.

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya literasi hukum dan perlindungan bagi masyarakat, terutama kelompok rentan, dari praktik-praktik curang yang merugikan. Proses hukum yang adil dan transparan sangat dibutuhkan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.

Exit mobile version