Sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan polemik menarik. Ahli hukum Chandra Hamzah berpendapat, pasal tersebut terlalu luas dan berpotensi menjerat siapa pun, termasuk pedagang kaki lima seperti penjual pecel lele.
Chandra menjelaskan, tafsir ketat dan ekstrem atas pasal tersebut dapat mengkriminalisasi aktivitas berjualan di trotoar. Aktivitas ini dianggap melanggar hukum karena trotoar merupakan fasilitas umum bagi pejalan kaki. Menggunakannya untuk berjualan dianggap merusak fasilitas negara dan menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan demikian, penjual pecel lele pun berpotensi dijerat UU Tipikor.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut,” ujar Chandra mengutip laman resmi MK.
Ancaman UU Tipikor Terhadap Pedagang Kaki Lima
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa “setiap orang” yang melakukan perbuatan melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dapat dijatuhi pidana. Chandra berpendapat, rumusan pasal ini terlalu luas dan menimbulkan multitafsir. Ketidakjelasan ini, menurutnya, melanggar asas lex certa (kejelasan hukum) dan lex stricta (tidak boleh menafsirkan hukum pidana secara analogi).
Ia menambahkan, penjual pecel lele bisa dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur: perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, dan merugikan keuangan negara. Hal ini, menurut Chandra, menunjukkan betapa luasnya cakupan pasal tersebut.
“Penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi. Ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara,” tegas Chandra.
Usulan Revisi UU Tipikor
Chandra Hamzah mengusulkan agar Pasal 2 ayat (1) dihapus. Pasal 3 juga perlu direvisi agar lebih spesifik dan sesuai dengan Article 19 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Ia menyarankan perubahan redaksi dengan mengganti frasa “setiap orang” menjadi “pegawai negeri” dan “penyelenggara negara”. Hal ini untuk membatasi penerapan pasal tersebut hanya pada mereka yang menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan.
Selain itu, frasa “yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara” juga perlu dihapus karena dinilai terlalu luas dan berpotensi menimbulkan multitafsir. Revisi ini bertujuan untuk menjernihkan definisi korupsi dan mencegah penjeratan yang keliru.
Perbedaan Pandangan Antara Penegak Hukum dan Realitas Korupsi
Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007, turut memberikan pandangannya dalam sidang tersebut. Ia menjelaskan, berdasarkan survei, suap merupakan bentuk korupsi yang paling banyak terjadi. Namun, penegak hukum di Indonesia lebih sering mengejar kasus-kasus yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
Amien menyoroti ketidaksesuaian antara fokus penegakan hukum dengan realitas korupsi di Indonesia. Ia menekankan, fokus yang salah ini tidak akan mampu memberantas korupsi secara efektif.
“Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi. Korupsi yang paling banyak adalah suap, tapi yang dikejar-kejar justru yang merugikan keuangan negara,” ungkap Amien.
Kesimpulannya, sidang uji materi UU Tipikor ini mengungkap kekhawatiran atas luasnya tafsir pasal-pasal kunci dalam UU Tipikor. Para ahli hukum menyoroti potensi penjeratan yang tidak adil dan menyarankan revisi untuk memperjelas batasan dan menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip hukum yang adil dan proporsional. Perbedaan pandangan antara realitas korupsi dan fokus penegakan hukum juga menjadi sorotan penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.