MAKI Desak MA Pertegas Keadilan, Potong Vonis Gazalba 20 Tahun

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyatakan kekecewaannya terhadap vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh di tingkat kasasi. MAKI menilai Mahkamah Agung (MA) gagal memberikan efek jera dan teladan yang seharusnya diberikan dalam kasus korupsi hakim sekelas Gazalba Saleh.
Boyamin berpendapat bahwa vonis tersebut terlalu ringan dan tidak mencerminkan keadilan. Ia menilai hukuman yang pantas bagi Gazalba Saleh adalah 20 tahun penjara. Alasannya, Gazalba Saleh tidak hanya terbukti melakukan korupsi, tetapi juga tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kedua tindak pidana ini memiliki ancaman hukuman yang berat, dan seharusnya dipertimbangkan secara kumulatif.
“Ya mestinya hukuman Gazalba Saleh tuh 20 tahun, baru bisa dikatakan adil. Kenapa? Dalam pencucian uang itu kan maksimal 20 tahun. Nah dia sementara juga kena kasus korupsi, yang kalau kasus korupsinya suap aja ya lima tahun, tapi kalau gratifikasi hakim, misalnya 15 tahun,” ujar Boyamin seperti dikutip dari detikcom.
Ia menambahkan bahwa hukuman gabungan untuk korupsi dan TPPU seharusnya mencapai 20 tahun penjara, bukan 10 tahun seperti yang diputuskan. Vonis yang lebih berat, menurut Boyamin, diperlukan untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya tindakan korupsi di lingkungan peradilan.
Boyamin menekankan bahwa vonis 10 tahun penjara tidak cukup untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Ia khawatir putusan tersebut justru akan menjadi preseden buruk dan tidak akan memberikan efek jera bagi hakim-hakim nakal lainnya. Hukuman yang lebih berat, termasuk denda dan pengembalian uang negara, diperlukan untuk menciptakan rasa takut dan mencegah tindakan korupsi.
MA Gagal Memberikan Teladan
Boyamin menilai MA gagal memberikan teladan dalam pemberantasan korupsi. Putusan yang relatif ringan terhadap Gazalba Saleh menunjukkan kelemahan MA dalam membersihkan lingkungan internalnya dari praktik korupsi. MA seharusnya menjadi contoh bagi lembaga penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan.
Menurut Boyamin, gagalnya MA memberikan hukuman yang setimpal terhadap Gazalba Saleh menunjukkan ketidakseriusan MA dalam memberantas korupsi di tubuhnya sendiri. Hal ini, menurutnya, akan melemahkan kepercayaan publik terhadap integritas dan kredibilitas lembaga peradilan di Indonesia.
Lebih lanjut, Boyamin menyoroti betapa pentingnya MA menjadi lembaga yang konsisten dan tegas dalam menindak praktik korupsi, baik dari kalangan hakim maupun pegawai di lingkungan MA. Putusan yang tegas dan proporsional terhadap Gazalba Saleh diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak, dan juga mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Kronologi Kasus Gazalba Saleh
Kasus Gazalba Saleh bermula dari penanganan perkara peninjauan kembali (PK) atas nama terpidana Jaffar Abdul Gaffar pada tahun 2020. Gazalba yang kala itu menjabat sebagai Hakim Agung mengabulkan PK tersebut. Atas pengurusan perkara tersebut, Gazalba menerima uang sebesar Rp37 miliar dari Jaffar Abdul Gaffar melalui Advokat Neshawaty Arsjad yang memiliki hubungan keluarga dengan Gazalba.
Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta sebelumnya menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara kepada Gazalba. Vonis tersebut lebih berat daripada vonis tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara. Kasasi yang diajukan oleh Gazalba kemudian menghasilkan putusan 10 tahun penjara, yang menjadi titik fokus kritik Boyamin Saiman.
Putusan kasasi tersebut, menurut Boyamin, justru memperlihatkan bahwa MA tidak konsisten dan tidak tegas dalam menindak kasus korupsi, khususnya yang melibatkan hakim agung. Hal ini sangat memprihatinkan dan perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak yang peduli dengan penegakan hukum di Indonesia.
Dengan ringkas, kasus Gazalba Saleh menunjukkan betapa pentingnya reformasi hukum yang menyeluruh untuk meningkatkan integritas dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Hukuman yang lebih berat dan konsisten diperlukan untuk memberikan efek jera dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan yang adil dan bebas dari korupsi.