Pernikahan, idealnya, adalah perjalanan indah yang dijalani bersama. Namun, realitanya, banyak tantangan yang bisa menggoyahkan pondasi sebuah rumah tangga. Salah satu tantangan tersebut adalah kehadiran egoisme dalam diri salah satu pasangan, misalnya suami. Egoisme suami dapat menjadi sumber konflik dan ketidakharmonisan yang signifikan.
Psikolog klinis dewasa dan peneliti relasi interpersonal, Dr. Pingkan C.B Rumondor, M.Psi., memberikan pencerahan mengenai akar permasalahan ini. Ia menekankan pentingnya memahami aspek emosional dalam dinamika hubungan suami istri.
Akar Masalah Egoisme Suami: Kematangan Emosional
Menurut Dr. Pingkan, egoisme suami sering kali berakar pada kematangan emosional yang belum optimal. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan emosional diri sendiri menjadi salah satu faktor utama.
Manusia memiliki beberapa kebutuhan emosional dasar yang perlu terpenuhi untuk kesejahteraan mental. Kebutuhan tersebut meliputi kasih sayang, rasa aman, validasi, penerimaan, dan perasaan aman dalam berinteraksi.
Suami yang egois mungkin belum menemukan cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung bergantung pada orang terdekat, termasuk istri, untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini seringkali memicu perilaku egois.
Mengatasi Egoisme Suami: Sebuah Proses Belajar
Meskipun egoisme tampak sebagai sifat yang sulit diubah, Dr. Pingkan menekankan bahwa hal tersebut dapat diatasi melalui proses pembelajaran dan latihan. Tahap awal yang krusial adalah kesadaran diri.
Suami yang egois perlu menyadari bahwa perilakunya berdampak negatif pada pasangannya. Kesadaran ini bisa muncul melalui komunikasi terbuka dan jujur antara suami dan istri. Keluhan istri akan menjadi titik awal yang penting.
Setelah menyadari keegoisannya, suami perlu mempelajari cara mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: “Apa yang sebenarnya saya rasakan ketika bersikap egois?” dan “Apa dampak perilaku egois tersebut?”.
Langkah-langkah Menuju Hubungan yang Lebih Sehat
Proses mengatasi egoisme tidaklah instan. Dr. Pingkan menyarankan langkah-langkah bertahap: mengenali emosi, mengkomunikasikan perasaan, dan bernegosiasi untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan.
Sebagai contoh, jika seorang suami selalu menuntut istrinya membuatkan teh setiap hari tanpa membalasnya, ia perlu merenungkan perasaan di balik tuntutan tersebut. Apakah ia merasa diabaikan ketika istrinya sibuk sehingga ia merasa perlu diperhatikan melalui tindakan tersebut?
Komunikasi yang efektif menjadi kunci. Suami perlu mengungkapkan perasaannya kepada istri dengan jujur dan tanpa menyalahkan. Selanjutnya, keduanya perlu bernegosiasi untuk menemukan keseimbangan dan kompromi.
Hubungan yang sehat dibangun di atas saling pengertian dan pemenuhan kebutuhan bersama, bukan di atas tuntutan sepihak. Kompromi dan kebersamaan adalah kunci untuk membangun hubungan yang lebih harmonis. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhannya.
Melalui kesadaran diri, komunikasi yang terbuka, dan kompromi, egoisme suami bisa diatasi. Proses ini membutuhkan kesabaran, pengertian, dan komitmen dari kedua belah pihak. Hasil akhirnya adalah hubungan yang lebih sehat dan bahagia.