Deteksi Dini Trauma Seksual: Kenali Gejala pada Balita

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak 8 tahun terhadap teman sebayanya mengguncang banyak pihak. Peristiwa ini menyoroti kenyataan pahit: korban kekerasan seksual bisa sangat muda, bahkan masih balita. Salah satu korban dilaporkan mengalami trauma berat, sampai-sampai enggan kembali ke masjid tempat kejadian tersebut berlangsung. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kewaspadaan dan pemahaman tentang trauma pada anak.
Psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, menjelaskan bahwa anak balita korban kekerasan seksual berisiko tinggi mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). PTSD dapat memunculkan berbagai gejala, salah satunya penghindaran.
Gejala Trauma pada Balita Korban Kekerasan Seksual
Anak usia dini seringkali kesulitan mengungkapkan trauma secara verbal. Perubahan perilaku justru bisa menjadi tanda bahaya gangguan psikologis serius. Beberapa gejala PTSD pada balita, menurut dr. Jiemi, meliputi menghindari tempat, orang, atau situasi yang mengingatkan pada kejadian traumatis. Mimpi buruk dan kilas balik (flashback) juga bisa muncul.
Anak mungkin menunjukkan emosi yang tidak stabil, seperti mudah marah, sedih, atau menjadi lebih pendiam. Kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai juga merupakan tanda yang perlu diwaspadai. Perubahan pola tidur dan nafsu makan juga sering terjadi. Orangtua perlu jeli membedakan antara perilaku manja dan reaksi trauma.
Pentingnya Terapi dan Pengobatan Medis
Psikoterapi merupakan pendekatan utama dalam penanganan anak korban kekerasan seksual. Jenis terapi disesuaikan dengan usia dan kemampuan komunikasi anak. Untuk anak yang belum mampu menjalani terapi bicara (talk therapy), terapi bermain (play therapy) atau terapi seni (art therapy) bisa menjadi alternatif.
Penggunaan obat-obatan hanya dipertimbangkan jika gejala sangat berat, misalnya insomnia parah, kecemasan berlebihan, atau ketidakstabilan emosi yang ekstrem. Intervensi dini sangat krusial untuk mencegah dampak jangka panjang.
Dampak pada Orangtua dan Pendekatan Menyeluruh
Trauma tidak hanya dialami anak, orangtua juga rentan mengalami tekanan psikologis. Rasa bersalah, syok, kecemasan, dan kehilangan arah adalah reaksi emosional yang umum terjadi. Orangtua yang terdampak bisa mengalami gejala fisik seperti gemetar atau insomnia, bahkan kesulitan mendampingi anak dalam proses pemulihan. Dukungan psikologis bagi orangtua sama pentingnya dengan penanganan pada anak.
Kasus kekerasan seksual pada anak, terutama jika pelakunya masih di bawah umur, membutuhkan penanganan komprehensif. Pemulihan harus melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan lingkungan sekitar. Langkah-langkah yang direkomendasikan meliputi pemeriksaan psikologis dan pemulihan trauma pada korban.
Rehabilitasi perilaku bagi pelaku (bukan hukuman jika di bawah 12 tahun) juga penting. Konseling keluarga dan pemantauan dari sekolah serta masyarakat sekitar turut berperan dalam mencegah kejadian serupa terulang. Pendekatan menyeluruh memastikan anak korban maupun pelaku mendapatkan penanganan yang tepat untuk menghindari dampak negatif jangka panjang.
Anak-anak adalah individu rentan yang membutuhkan perlindungan maksimal dari kekerasan seksual. Peristiwa ini menjadi alarm bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran, memberikan edukasi, serta memastikan adanya sistem dukungan yang kuat bagi korban dan keluarga mereka. Dengan penanganan yang tepat dan komprehensif, kita dapat membantu mereka memulihkan diri dan mencegah trauma berkepanjangan.