Korsel Hentikan Propaganda: Langkah Damai Menuju Semenanjung Korea

Pemerintah Korea Selatan mengambil langkah mengejutkan dengan menghentikan siaran propaganda melalui pengeras suara ke Korea Utara pada Rabu, 11 Juni 2025. Keputusan ini merupakan bagian dari upaya membangun kembali kepercayaan dan meredakan ketegangan di Semenanjung Korea, seiring dengan perubahan kepemimpinan di Seoul. Langkah ini menandai perubahan signifikan dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang lebih keras terhadap Korea Utara.
Presiden baru Lee Jae-myung, yang terpilih dalam pemilu sela, menganggap perdamaian sebagai prioritas utama. Ia berjanji untuk memperbaiki hubungan dengan Pyongyang melalui dialog dan negosiasi.
Penghentian Siaran Propaganda: Sebuah Isyarat Perdamaian
Kementerian Pertahanan Korsel menyatakan penghentian siaran propaganda sebagai upaya untuk memenuhi janji pemulihan kepercayaan dalam hubungan antar-Korea. Langkah ini dinilai sebagai perubahan drastis dari kebijakan pemerintahan Presiden Yoon Suk Yeol yang telah dimakzulkan.
Pemerintahan Yoon Suk Yeol sebelumnya dikenal dengan sikapnya yang keras terhadap Korea Utara. Pemberlakuan darurat militer yang gagal berujung pada pemakzulan dan pencopotannya dari jabatan presiden.
Presiden Lee Jae-myung menekankan pentingnya perdamaian meskipun memerlukan pengorbanan besar. Ia percaya bahwa perdamaian tetap lebih berharga daripada konflik.
Latar Belakang Ketegangan dan Siaran Propaganda
Siaran pengeras suara Korsel sebelumnya diaktifkan kembali Juni tahun lalu. Hal ini merupakan respons terhadap pengiriman balon berisi sampah dari Korea Utara ke wilayah Selatan.
Balon-balon tersebut diduga sebagai balasan atas aksi aktivis Korea Selatan yang menerbangkan selebaran anti-Kim Jong Un dan uang dolar AS ke Korea Utara. Situasi ini memicu eskalasi ketegangan.
Isi siaran propaganda Korsel antara lain lagu-lagu K-pop dan berita yang disiarkan melalui pengeras suara besar di zona demiliterisasi (DMZ). Ini merupakan taktik yang belum pernah digunakan dalam enam tahun terakhir.
Korea Utara merespons dengan siaran propaganda sendiri, yang memicu keluhan warga perbatasan Korsel. Warga di Pulau Ganghwa, yang berdekatan dengan perbatasan, mendengar suara-suara aneh dari Utara.
Respons Publik dan Analisis Kebijakan Baru
Warga Pulau Ganghwa, Ahn Hyo-cheol, meskipun masih mendengar suara dari Utara, menilai keputusan pemerintah Korsel untuk menghentikan siaran sebagai langkah yang tepat. Anggota dewan daerah Ganghwa, Park Heung-yeol, mengatakan penghentian siaran seharusnya dilakukan lebih cepat.
Park Heung-yeol menambahkan bahwa penghentian siaran bukan akhir dari proses perdamaian. Ia menekankan pentingnya pemulihan saluran komunikasi dan dialog dengan Korea Utara.
Analis senior di Korea Institute for National Unification, Hong Min, memandang penghentian siaran sebagai sinyal serius dari Presiden Lee untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara. Ia menilai ini sebagai bukti bahwa Lee tidak berniat bermusuhan.
Hong Min memperkirakan Lee akan mengambil langkah lebih lanjut, termasuk menghidupkan kembali perjanjian militer antar-Korea yang dibatalkan tahun lalu. Hal ini diharapkan dapat dibalas dengan penghentian siaran propaganda dari Korea Utara.
Korea Utara sendiri belum memberikan komentar resmi terkait terpilihnya Presiden Lee, selain laporan singkat tentang hasil pemilu. Dengan mayoritas kursi parlemen, Presiden Lee memiliki peluang besar untuk menjalankan agendanya, termasuk kebijakan perdamaian dengan Korea Utara.
Penghentian siaran propaganda menjadi tonggak awal dalam upaya membangun hubungan yang lebih damai di Semenanjung Korea. Namun, keberhasilan upaya ini bergantung pada respons dan komitmen dari kedua belah pihak. Jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh tantangan.