Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) yang aktif di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini disambut positif oleh Greenpeace Indonesia, namun organisasi lingkungan tersebut masih mendesak pemerintah untuk mencabut seluruh izin pertambangan di kawasan tersebut, baik yang aktif maupun tidak aktif.
Greenpeace menekankan pentingnya perlindungan penuh dan permanen bagi seluruh ekosistem Raja Ampat yang rapuh. Organisasi ini juga meminta transparansi penuh dari pemerintah mengenai pencabutan izin tersebut.
Greenpeace Apresiasi Pencabutan Izin, Tapi Minta Lebih
Kiki Taufik, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, menyampaikan apresiasi atas pencabutan empat IUP tersebut. Namun, ia menekankan pentingnya transparansi dengan meminta publikasi resmi keputusan pemerintah.
Greenpeace khawatir izin yang sudah dicabut bisa diterbitkan kembali, mengingat adanya preseden sebelumnya. Oleh karena itu, mereka mendorong pengawasan publik terhadap langkah-langkah pemerintah selanjutnya.
Selain itu, Greenpeace juga mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik sosial yang muncul akibat aktivitas pertambangan. Hal ini termasuk memastikan keselamatan dan keamanan masyarakat yang menolak tambang nikel di Raja Ampat.
Empat IUP yang dicabut adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Pencabutan IUP ini diharapkan dapat membantu melindungi keanekaragaman hayati Raja Ampat.
Dampak Tambang Nikel: Kerusakan Ekologis dan Kesengsaraan Masyarakat
Aktivitas tambang nikel, tidak hanya di Raja Ampat, tetapi juga di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia timur, telah menimbulkan kerusakan ekologis yang signifikan. Hal ini berdampak buruk pada kehidupan masyarakat adat dan lokal.
Greenpeace mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh izin tambang di wilayah tersebut. Hal ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut dan melindungi hak-hak masyarakat.
Taufik menambahkan, pembangunan di Indonesia, khususnya di Papua, harus berpedoman pada prinsip kemanusiaan, keadilan, dan pelibatan publik yang bermakna. Hal ini termasuk persetujuan dari masyarakat adat berdasarkan informasi yang lengkap dan tanpa paksaan.
Raja Ampat: Pelajaran Berharga untuk Tata Kelola Pertambangan
Mufti Anam, Anggota Komisi VI DPR RI, meminta pemerintah mengevaluasi sistem penerbitan IUP agar aktivitas pertambangan tidak melanggar aturan. Kejadian di Raja Ampat menjadi pelajaran berharga.
Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa dan merupakan habitat bagi flora dan fauna unik. Aktivitas pertambangan sangat merugikan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Mufti menekankan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat melanggar UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU No 27 tahun 2007. Kedua UU tersebut melarang aktivitas pertambangan di pulau dengan luas kurang dari 2.000 km2.
Ia mempertanyakan bagaimana izin tambang bisa terbit di kawasan konservasi seperti Raja Ampat, bahkan di dekat destinasi wisata terkenal seperti Pulau Piaynemo. Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang RTRW juga dinilai bertentangan dengan undang-undang.
Mufti menegaskan bahwa Raja Ampat seharusnya menjadi kawasan konservasi dan pariwisata, bukan zona industri ekstraktif. Ia mengajak semua pihak untuk melindungi alam Indonesia dari kerusakan lebih lanjut.
Kesimpulannya, pencabutan empat IUP di Raja Ampat merupakan langkah awal yang positif, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk memastikan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kejadian ini harus menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia dan mencegah terulangnya kejadian serupa di daerah lain.

