Skandal Tambang Nikel Raja Ampat: Siapa di Baliknya?

Lima perusahaan tambang telah resmi mendapatkan izin beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini telah memicu kontroversi mengingat keunikan dan kerentanan ekosistem Raja Ampat yang terkenal sebagai surga bawah laut. Izin tersebut diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pemerintah daerah setempat, namun menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak terkait dampak lingkungan jangka panjang.
Izin operasional tersebut diberikan kepada lima perusahaan berbeda untuk beroperasi di lima pulau berbeda di wilayah Raja Ampat. Pemerintah mengklaim telah melakukan kajian lingkungan dan memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi. Namun, transparansi dan pengawasan ketat atas operasional pertambangan tetap menjadi sorotan utama.
Izin Tambang di Raja Ampat: Rincian Perusahaan dan Wilayah Operasi
Kementerian ESDM merilis daftar lima perusahaan yang mendapatkan izin. Mereka akan melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Gag, Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, Pulau Kawe, dan Pulau Waigeo.
Berikut ini detail masing-masing perusahaan dan izin yang mereka peroleh:
Perusahaan Tambang dengan Izin dari Pemerintah Pusat
Dua perusahaan tambang mendapatkan izin langsung dari Pemerintah Pusat. Kedua perusahaan ini memiliki skala operasi yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang mendapat izin dari pemerintah daerah.
PT Gag Nikel – Pulau Gag
PT Gag Nikel memegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII seluas 13.136 hektar di Pulau Gag. Perusahaan ini telah beroperasi sejak 2017 dan izinnya berlaku hingga 2047.
Aspek lingkungan telah dipenuhi, termasuk AMDAL dan IPPKH. Reklamasi lahan tambang juga telah dilakukan. Namun, pembuangan air limbah masih menunggu Sertifikat Laik Operasi (SLO).
PT Anugerah Surya Pratama (ASP) – Pulau Manuran
PT ASP memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang berlaku hingga 2034. Wilayah operasinya seluas 1.173 hektar di Pulau Manuran.
Perusahaan ini telah memiliki AMDAL dan UKL-UPL sejak 2006 yang dikeluarkan oleh Bupati Raja Ampat.
Perusahaan Tambang dengan Izin dari Pemerintah Daerah
Tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah Raja Ampat. Skala operasi perusahaan ini cenderung lebih kecil dibandingkan perusahaan yang mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat.
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) – Pulau Batang Pele
PT MRP memegang IUP Eksplorasi hingga 2033 untuk wilayah seluas 2.193 hektar di Pulau Batang Pele. Saat ini, mereka masih dalam tahap eksplorasi.
Dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan belum dimiliki oleh PT MRP.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) – Pulau Kawe
PT KSM memiliki IUP hingga 2033 untuk wilayah seluas 5.922 hektar di Pulau Kawe. Mereka telah memiliki IPPKH sejak 2022.
Meskipun produksi dimulai pada 2023, saat ini tidak ada aktivitas pertambangan yang berlangsung.
PT Nurham – Pulau Waigeo
PT Nurham memiliki IUP hingga 2033 untuk wilayah seluas 3.000 hektar di Pulau Waigeo. Perusahaan ini telah memiliki persetujuan lingkungan sejak 2013.
Hingga saat ini, PT Nurham belum melakukan aktivitas produksi.
Dampak dan Kekhawatiran terhadap Ekosistem Raja Ampat
Aktivitas pertambangan di Raja Ampat memicu kekhawatiran luas. Kawasan ini merupakan salah satu destinasi wisata bahari terbaik di dunia dengan ekosistem laut yang sangat rapuh.
Masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku wisata mendesak pengawasan ketat atas aktivitas pertambangan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan perlindungan ekosistem Raja Ampat.
Penting bagi pemerintah untuk memastikan semua proses perizinan dan operasi tambang dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, reklamasi, dan partisipasi masyarakat adat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci keberhasilan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di kawasan yang sangat vital ini.